TERNATE – HabarIndonesia. Konflik sengketa lahan antara warga dan Polda Maluku Utara di kawasan Ubo-Ubo, Kayu Merah, dan Bastiong Karance kembali memuncak. Ketika harapan akan dialog terbuka muncul, dua institusi kunci Pemerintah Kota Ternate dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) justru tidak hadir dalam forum diskusi publik yang digelar oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Ternate, Rabu malam (14/08/25).
Forum yang digelar di Kafe Sabeba, Kecamatan Ternate Tengah, bertajuk “Urgensi Sengketa Lahan Antara Polda dan Masyarakat: Bagaimana Jalan Keluarnya?” itu dirancang sebagai ruang mediasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Sayangnya, kursi untuk perwakilan Pemkot dan BPN kosong, memicu kekecewaan mendalam dari peserta dan warga terdampak.
“Ketidakhadiran ini bukan sekadar soal absen, tapi bentuk ketidaktransparanan dan ketidaksungguhan dalam menyelesaikan konflik yang sudah puluhan tahun berlarut,” tegas Ketua PMII Cabang Ternate, Riyan Sula.
Menurut Riyan, absennya dua pihak utama ini mencerminkan lemahnya keberpihakan institusi terhadap rakyat. Ia menyebut forum ini seharusnya menjadi ajang akademik dan sosial untuk mencari solusi, bukan ruang untuk menghindar.
“Kami datang dengan iktikad baik. Tapi jika pola ini terus berulang, jangan salahkan jika kami akan turun jalan dengan massa yang lebih besar dan mendatangi langsung kantor BPN dan Pemkot,” ancam Riyan lantang.
Konflik bermula dari terbitnya sertifikat Hak Pakai atas nama Polri pada 1989. Sertifikat tersebut menjadi dasar klaim Polda Malut atas lahan yang sudah lama ditempati dan dikelola oleh warga. Di sisi lain, warga mengaku memiliki bukti pembayaran pajak serta sejarah penguasaan fisik atas tanah itu sejak lama.
PMII menilai bahwa ini bukan sekadar persoalan administratif, tapi soal keadilan substantif yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketidakterbukaan data kepemilikan, menurut mereka, memperbesar potensi konflik sosial dan memperpanjang penderitaan warga.
“Kami tidak akan berhenti di forum ini. Ketika dialog tak direspons, maka perlawanan sosial akan menjadi opsi, karena kami butih penjelasan juga pihak terkait,” tutup Riyan dengan nada geram.
Forum tetap berjalan dengan kehadiran akademisi hukum dan warga terdampak yang membagikan testimoni mereka. Namun tanpa kehadiran otoritas yang berwenang, kami kembali harus menunggu solusi yang belum pasti sementara konflik terus menyala di tengah masyarakat.
(Agis)