Berita  

Aksi Front Kemanusiaan di Maluku Utara Desak Penyelesaian Masalah PT STS

HALTIM – HabarIndonesia. Front Kemanusiaan untuk Korban Pembunuhan (FKUKP) Maluku Utara menggelar aksi demonstrasi di depan kantor eks Gubernur Maluku Utara, Senin (28/4/2025).

Aksi ini bertujuan mendesak Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur untuk segera menyelesaikan polemik eksplorasi PT STS yang dinilai bermasalah.

Dalam orasinya, Koordinator Aksi, Sulfian Kiye, mengungkapkan bahwa hingga kini PT STS belum melakukan sosialisasi terkait aktivitas mereka kepada pemerintah kecamatan, pemerintah desa, maupun masyarakat adat setempat.

“Sejauh ini pihak STS belum pernah melakukan sosialisasi, baik terkait rencana kegiatan maupun dokumen AMDAL,” ujar Sulfian kepada awak media Habar Indonesia.

Sulfian juga menyoroti adanya pelanggaran prosedural dalam pertemuan yang dilakukan antara Wilhelmus Tahalele mantan Bupati Halmahera Timur dengan PT STS tanpa melibatkan pemerintah kecamatan dan masyarakat adat Wayamli.

“Pada 1 Januari lalu, Camat Maba Tengah menyampaikan kepada masyarakat bahwa kita telah dibodohi oleh PT STS,” katanya.

Lebih jauh, Sulfian mengungkapkan adanya dugaan kuat kolusi antara PT STS dengan pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Wilhelmus Tahalele.

Menurutnya, tanah adat Wayamli diklaim sepihak dan telah dimasukkan dalam peta eksplorasi perusahaan tanpa persetujuan masyarakat adat.

Aktivitas pertambangan yang berjalan tanpa sosialisasi tersebut mulai memberikan dampak serius terhadap lingkungan.

Sulfian menyebutkan, pencemaran limbah telah mencemari hulu Sungai Walal, yang menjadi sumber air utama bagi 12 desa, termasuk Bangul, Babasaran, Benginlamo, Wayamli, dan Yawali.

“Kami melihat sendiri dampak ekologisnya, limbah sudah mencemari sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat,” imbuhnya.

Dalam aksinya, FKUKP juga mempertanyakan sikap Pemerintah Halmahera Timur yang dinilai mengabaikan Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT) yang menetapkan Kecamatan Maba Tengah sebagai kawasan lumbung pangan, bukan kawasan investasi tambang.

“Padahal dalam ADRT disebutkan Maba Tengah dipersiapkan untuk lumbung pangan. Pertemuan yang diagendakan waktu itu untuk meluruskan tapal batas, bukan untuk melegalkan eksplorasi,” tegas Sulfian.

Saat ditanya mengenai kepastian apakah lumbung pangan tersebut masih menjadi prioritas sesuai ADRT, Sulfian mengaku bahwa masyarakat adat masih menunggu transparansi dokumen publik dari pemerintah.

“Respon pemerintah ada, tetapi dokumen resminya sampai sekarang belum ditunjukkan ke publik,” ucapnya.

Meski demikian, Sulfian menyatakan masih percaya pada integritas Wakil Bupati Anjas Taher yang sebelumnya pernah menyatakan komitmennya untuk melindungi masyarakat.

“Semoga pernyataan Wakil Bupati bahwa ‘jangan sentuh sehelai rambut masyarakat saya’ bukan sekadar janji di atas kertas,” tutupnya.

(Apot)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *