TERNATE – HabarIndonesia. Dunia pendidikan kembali tercoreng. Seorang kepala sekolah SMA di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, berinisial AU (37), diduga melakukan pelecehan seksual terhadap lima siswi di sekolah yang ia pimpin. Perbuatan bejat ini berlangsung selama tiga bulan terakhir dan terjadi di ruang kelas serta rumah dinas pelaku.
Kasus ini bukan hanya merusak masa depan korban, tapi juga mencederai nilai luhur pendidikan. Muammar Jafril, Koordinator Bidang Pidana, mengecam keras tindakan tersebut.
“Kepala sekolah itu simbol kepercayaan, tempat menggantungkan harapan. Jika ia malah menjadi predator, maka ini bukan hanya kejahatan, ini penghianatan terhadap bangsa,” ujarnya Jafril kepada Media HabarIndonesia.id sabtu, 02/08/25.
Menurut Jafril, dugaan kekerasan seksual ini mencuat pertama kali dari laporan media Tandaseru pada 31 Juli 2025. Dalam laporannya, disebutkan bahwa tindakan tak senonoh itu terjadi secara berulang sejak April hingga Juli 2025. Bahkan ada indikasi bahwa pelaku tak bekerja sendiri, mengingat beberapa kejadian terjadi di rumah dinas yang semestinya diawasi.
Jafril, perwakilan dari Firma Hukum Iksan Maujud dan Rekan, menilai perbuatan tersebut sebagai bentuk perusakan sistematis terhadap generasi bangsa.
“Kepala sekolah harusnya jadi benteng moral, bukan predator seksual. Ini ironi. Ini petaka moral yang harus dibayar mahal oleh penegak hukum,” tegasnya Jafril.
“Ini bukan aksi tunggal. Bisa jadi ada yang menyuruh, membiarkan, bahkan melindungi. Siapa pun yang terlibat, harus diusut sampai akar. Tak boleh ada kompromi untuk kejahatan seperti ini,” tambahnya Amar juga menyinggung keberadaan kemungkinan pelaku lain.
Ia juga menyebutkan, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan UU No. 11 Tahun 2012 dengan tegas memberikan perlindungan maksimal kepada anak sebagai korban kekerasan seksual. Sanksi berat sudah menanti para pelaku, termasuk hukuman penjara puluhan tahun. Negara telah memberikan perangkat hukum, tinggal bagaimana aparat menegakkannya tanpa pandang bulu.
“Pelecehan seksual terhadap anak bukan hanya tindak pidana, tapi penghancuran total terhadap hak dasar manusia. Anak-anak ini bisa trauma seumur hidup, dan itu tidak bisa ditebus dengan permintaan maaf,” tutur Jafril .
Jafril juga mengingatkan Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai agar tidak tinggal diam.
“Peristiwa ini terjadi di bawah kewenangan mereka. Jangan menutup mata. Segera bentuk satgas perlindungan anak, evaluasi total kepala sekolah dan sistem pengawasan pendidikan,” pintanya.
Lebih jauh, ia mendorong masyarakat agar aktif melaporkan setiap indikasi kekerasan seksual.
“Kita tak boleh lagi membiarkan anak-anak dibungkam oleh rasa takut. Lindungi mereka. Bicara. Laporkan. Dan pastikan pelaku membayar lunas kejahatannya,” tegas Jafrila.
Ia juga dengan harapan kini, kasus ini ditangani pihak kepolisian. Para pemerhati hukum dan perlindungan anak mendesak aparat untuk transparan, serius, dan tidak bermain-main. Sebab satu hal yang pasti, pendidikan harus menjadi taman bermain yang aman, bukan sarang pemangsa masa depan bangsa.
(Tax/Koces)