Berita  

Perayaan 78 Tahun HMI di Ternate: Refleksi dan Tantangan Masa Depan

Ternate-Habarindonesia. Malam yang penuh refleksi dan diskusi kritis mewarnai perayaan 78 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Rotasi Cafe, Ternate. Acara ini menghadirkan berbagai pemikiran dari para senior, tokoh Cipayung Plus, serta birokrat, yang membahas perjalanan panjang organisasi ini dan tantangan yang dihadapinya dalam dunia pergerakan mahasiswa saat ini. Sabtu 08/02/25.

Dalam diskusi tersebut, Mustafa Hasan, seorang alumni HMI Ambon, membuka sesi dengan mengingat kembali ucapan pendiri HMI, Lafran Pane. Ia mengungkapkan keprihatinannya terhadap perubahan yang terjadi dari era Orde Baru hingga Reformasi, di mana banyak alumni HMI seakan “tergusur” dari panggung politik dan birokrasi.

“Apakah ini karena kita kalah dalam kualitas atau karena sistem politik yang berubah?” tanyanya. Menurutnya, terjadi degradasi intelektualisme di kalangan kader HMI. Salah satu contohnya adalah dalam hal pelatihan (training).

Jika dulu kader HMI tidak membutuhkan gedung mewah dan fasilitas mewah untuk mengikuti training, kini banyak yang terlalu berorientasi pada kenyamanan. Mustafa berharap kader HMI dapat kembali pada semangat awal, memahami kondisi masyarakat secara langsung, dan tidak hanya sibuk dengan aktivitas internal organisasi.

Imron Mahmud, yang juga hadir sebagai pembicara, menambahkan perspektif tentang redupnya gerakan mahasiswa, tidak hanya di HMI tetapi juga di organisasi lain seperti PMII dan IMM. Menurutnya, kemajuan teknologi menjadi faktor utama yang membuat mahasiswa semakin terlena.

“Kita melihat semakin banyak mahasiswa yang lebih asyik dengan handphone dan media sosial daripada turun langsung ke lapangan. Tidak ada lagi ‘titisan’ semangat perjuangan dalam diri mereka,” ungkapnya.

Ia menekankan pentingnya beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi perjuangan mahasiswa sebagai agen perubahan.

Sementara itu, Prof. Dr. Jubair Situmorang, M.Ag., sebagai senior HMI, mengangkat isu kontroversial tentang “kematian” HMI. Menurutnya, salah satu ancaman terbesar yang pernah dihadapi HMI adalah adanya upaya untuk membubarkan organisasi ini di masa lalu.

Ia menyebut bahwa Audit, seorang tokoh yang memahami ajaran Islam secara mendalam, pernah menganggap HMI sebagai ancaman karena visi nasionalisme yang diusung Lafran Pane. Namun, upaya ini tidak berhasil karena Soekarno memilih untuk tidak membubarkan HMI.

Saat ini, lanjutnya, ancaman lain bagi HMI bukan datang dari luar, tetapi dari dalam, yaitu kekecewaan para kader sendiri. Banyak yang mempertanyakan relevansi HMI di era digitalisasi.

“Ada narasi yang berkembang di kalangan mahasiswa: lebih baik tidak usah masuk HMI. Ini menjadi tantangan bagi kita semua,” ujarnya. Oleh karena itu, ia mengajak para kader untuk kembali merumuskan peran HMI agar tetap relevan di tengah perubahan zaman.

Sesi diskusi semakin menarik dengan testimoni dari Aprilyadi Agus Maarsaoly, seorang peserta yang berbagi pengalaman tentang dinamika internal di HMI. Ia menyoroti bagaimana sering kali kader dijadikan bahan “praktek” antara penguasa dan rakyat, serta dinamika antara komisariat dan cabang yang terkadang kurang harmonis.

“Saat komisariat mengkritik kebijakan cabang, sering kali dianggap tidak memahami apa yang sedang dikerjakan. Padahal, kritik adalah bagian dari proses pembelajaran dan demokratisasi dalam organisasi,” katanya.

Sebagai penutup, Moderator Dr. Heman Oesman, M.Si., menyampaikan bahwa masa depan HMI ada di tangan kader-kadernya saat ini. Banyak alumni HMI yang telah berkiprah di berbagai bidang, seperti pers, kesehatan, dakwah, dan ekonomi. Ia berharap kader-kader muda bisa terus berproses dan menjaga eksistensi HMI.

“78 tahun perjalanan HMI bukan sekadar angka, tetapi sebuah bukti bahwa organisasi ini masih memiliki peran besar di Indonesia. Semua tergantung pada kita. Semoga HMI tetap eksis dan membawa manfaat bagi umat dan bangsa,” pungkasnya. Acara pun ditutup dengan doa dan pembacaan Surat Al-Fatihah.

Diskusi ini menjadi momen penting bagi kader HMI untuk kembali merefleksikan peran dan kontribusinya di era modern. HMI bukan sekadar organisasi, tetapi wadah pembentukan intelektual dan pemimpin masa depan. Dengan berbagai tantangan yang ada, harapannya HMI bisa tetap menjadi lokomotif pergerakan mahasiswa Islam di Indonesia.
(Opal)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *