Oleh: Darwan Humah
(Peneliti Determinan Foundation)
Kita tahu bahwa Green dan Blue economy telah menjadi domain intim dalam wacana pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Itu dimulai ketika Bappenas meluncurkan kerangka kebijakan Blue Economy Development Framework for Indonesia’s Economic Transformation pada 25 November 2021. Sementara kebijakan Green economy menyusul pada 9 Agustus 2022 melalui Green Economy Index (GEI). Meskipun begitu, keduanya seringkali menunjukkan batas-batas ekonomi politik yang tak pernah bergerak keluar dari logika teknokratis serta syarat dengan ekstraktivisme. Maka jangan heran bila pelaksanaannya tidak menyentuh akar struktural ketidakadilan ekologis, sosial, dan ekonomi.
Dalam pandangan ekologi-politik krisis lingkungan dipandang bukan sebagai masalah teknis, tetapi sebagai hasil relasi kekuasaan dengan penekanan pada peran negara dan korporasi dalam memengaruhi kebijakan, menguasai sumber daya, memproduksi pengetahuan, bahkan mengubah ekologi sebagai arena kontestasi politik dan ekonomi sambil memarjinalkan komunitas lokal.
Itu artinya kedua konsep itu (Green dan Blue economy) tidak menggantikan logika lama, melainkan hanya mengganti label dari Green economy menjadi “ekstraktivisme hijau”. Begitu pula dari Blue economy menjadi “ekstraktivisme biru”. Ini menunjukkan kalau selama basis pertumbuhan tetap mengandalkan eksploitasi komoditas dan ruang ekologis, maka perubahan yang terjadi hanya sebatas “kosmetik” (rebranding) dari sistem lama. Kita mungkin terkejut saat menyadari bahwa ekonomi politik di negara ini tidak sedang mengalami transformasi, melainkan sedang menghijaukan dan membirukan ekstraktivisme.
Dalam wacana pembangunan konvensional selalu ditekankan konsep pertumbuhan ekonomi dan efisiensi teknis. Namun, hal ini justeru memberi kesempatan kepada Green dan Blue economy muncul sebagai versi “berkelanjutan” dari paradigma lama sambil tetap mempertahankan logika pertumbuhan. Kalau kita periksa, kritik pernah dilontarkan oleh post-development, degrowth, dan solidarity economy di mana mereka menolak asumsi dasar logika “berkelanjutan” seperti digaungkan Green dan Blue economy karena mustahil pertumbuhan dapat terus berlangsung tanpa merusak ekologi dan masyarakat.
Mengapa begitu?
Kalau kita baca seluruh keterangan dalam kebijakan Green economy, maka kita akan mengerti kalau Green economy memperoleh legitimasi kuat melalui strategi iklim nasional (NDC) yang merupakan komitmen negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca beserta turunannya, termasuk pasar karbon yang merupakan mekanisme ekonomi untuk memperdagangkan kredit emisi dalam upaya pengurangan efek gas rumah kaca, energi terbarukan yang merupakan sektor kunci mitigasi perubahan iklim, serta kebijakan restorasi hutan dan gambut sebagai penyerap karbon alami. Tetapi, penerapan semua itu syarat dengan reduksi kepentingan politik. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Green economy seringkali menjadi ruang baru bagi akumulasi kapital yang diperlihatkan dari industri sawit yang dijual sebagai biofuel “hijau”. Tak hanya itu, proyek energi terbarukan juga dikuasai perusahaan besar, dan rehabilitasi lahan berubah menjadi komoditas sertifikasi karbon (sebuah green extractivism). Itu artinya kalau proyek-proyek tersebut adalah sebuah eksploitasi yang dibungkus dengan narasi “berkelanjutan”. Disinilah kritisisme kita perlu diuji, bukan sekadar melihat bagaimana dampak keberlanjutan dari kedua paradigma itu (Green dan Blue economy), tetapi bagaimana memahami akar persoalannya melalui perspektif ekonomi-politik dalam hubungannya dengan krisis agraria maupun ketimpangan sosial yang lebih luas. Untuk itu, pertanyaan paling mendasar harus kita ajukan.
Apakah Green dan Blue economy mengabaikan akar ketimpangan agrarian dan ketimpangan sosial?
Mari sama-sama kita periksa!
Dalam kacamata Green economy, masalah struktural seperti ketimpangan kepemilikan tanah, konflik lahan, dominasi korporasi nampaknya tidak disentuh. Green economy malah menjadi alat legitimasi tanpa mengubah struktur agraria. Bisa kita lihat bagaimana biofuel yang digadang-gadang sebagai energi hijau tetap dipertahankan sebagai solusi alternatif meski menimbulkan dampak buruk karena berbasis ekspansi monokultur sawit dan disposesi lahan. Ada juga proyek carbon offset dan carbon trading yang membutuhkan konsesi hutan skala besar dan kerap meneguhkan kontrol korporasi atau negara atas ruang hidup masyarakat adat. Dan yang tak kalah ironi adalah reforestasi berbasis pasar yang menempatkan hutan sebagai “bank karbon”, bukan sebagai ruang hidup sosial-ekologis.
Kalau kita baca beberapa laporan NGO bidang lingkungan, akan kita temukan kalau Indonesia termasuk dalam kategori ketimpangan agraria tertinggi di dunia. Kebanyakan konsentrasi lahan berada pada segelintir korporasi, terutama sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Ketimpangan ini akhirnya menciptakan ekspansi komoditas skala besar yang menyebabkan deforestasi, perampasan ruang hidup masyarakat adat dan petani (tentu kita masih ingat kasus 11 warga Maba Sangaji), konflik agraria yang terus meningkat (kehadiran bank tanah membawa dampak konflik kepemilikan lahan antara warga dan pihak bank Tanah, korporasi, dan Pemerintah di Kabupaten Halmahera Selatan), serta deforestasi ekologis akibat model produksi berbasis monokultur (data dari Ekuatorial memperlihatkan perluasan lahan sawit di Kabupaten Halmahera Selatan oleh area konsesi PT. GMM seluas 11.033,90 hektar mengakibatkan laju deforestasi sebesar 8.351 hektar antara tahun 2000 dan 2017. Area konsesi ini berdasarkan SK Menteri Kehutanan No SK.22/Menhut-II/2009). Namun, dalam kerangka Green economy, ketimpangan agraria tidak pernah menjadi titik analisis.
Berbagai dokumen kebijakan hanya menyinggung teknologi efisiensi, insentif karbon, atau skema pendanaan hijau, tetapi menghindari isu paling fundamental, yaitu siapa yang harus menguasai lahan? Siapa yang menentukan cara lahan dikelola? Dan siapa yang diuntungkan dari ekonomi hijau? Alih-alih menyelesaikan masalah struktural, Green economy justeru memperkuat kontrol aktor besar atas tanah melalui skema “hijau” yang dipaketkan dalam model teknokratis. Hal ini menunjukkan kalau ekonomi politik agraria kita senantiasa menempatkan Green economy untuk membuka ruang akumulasi baru bagi korporasi. Tentu saja kondisi ini berjalan melalui beberapa mekanisme. Sebut saja kebijakan korporasi reforestasi dimana program seperti rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), restorasi gambut, atau reforestasi itu sendiri sering diberikan kepada perusahaan kehutanan, lembaga konservasi, atau investor karbon. Sementara masyarakat lokal hanya ditempatkan sebagai tenaga kerja, selebihnya hanya partisipan pasif, bukan sebagai pemilik.
Dalam kebijakan privatisasi karbon juga tak kalah unik. Karbon saat ini menjadi komoditas baru dalam pasar global. Untuk mengamankan potensi pendapatan dari karbon, negara dan korporasi memperluas klaim terhadap hutan adat (kecurigaan pertama kita akan mengarah pada kehadiran Bank Tanah). Dalam keadaan semacam itu, ruang hidup masyarakat dianggap sebagai “lahan karbon”, bukan sebagai ruang sosial-politik. Terdapat pula kebijakan lain yang menempatkan alam sebagai aset finansial. Di sini, Bank Internasional dan investor global masuk melalui Green Bonds (surat utang) untuk membiayai proyek seperti geothermal, manajemen limbah, konservasi air, reforestasi, maupun rehabilitasi ekosistem. Tetapi, surat utang jenis ini rawan menjadi Greenwashing bila proyek tidak benar-benar ramah lingkungan. Karena tujuan utama surat utang ini adalah memperkuat keuangan, maka wajar saja kalau ekologi dinilai sebagai aset keuangan paling berharga. Dan itu sama artinya manfaat lingkungan akan semakin sulit diverifikasi.
Di samping surat utang (Green Bonds), ada juga ekspansi monokultur. Di bawah narasi energi hijau, ekspansi perkebunan sawit dianggap sah. Padahal model ini terbukti merusak ekologi dan memperparah ketimpangan agraria. Kita bisa mengambil kasus banjir bandang di tiga provinsi (Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada November 2025) sebagai contohnya. Kita mungkin bisa menyimpulkan bahwa Green economy tidak menghancurkan kapitalisme berbasis lahan, tetapi menambahkan lapisan “hijau” sebagai legitimasi politik dan moral.
Adapun persoalan Blue economy, ia lebih terlihat sebagai komodifikasi laut dan ekstraktivisme biru di mana orientasi kebijakannya lebih mengarah pada industrialisasi dan investasi. Patut untuk kita sadari bahwa Blue economy di negeri ini berorientasi pada industrialisasi perikanan, pariwisata bahari, reklamasi, dan ekspansi akuakultur intensif. Tetapi, seiring berjalannya waktu konsep keberlanjutannya malah hanya muncul sebagai retorika.
Dalam konteks ekstraktivisme biru, Blue economy memperluas eksploitasi laut melalui privatisasi ruang pesisir sehingga proyek karbon pesisir (blue carbon) yang dikuasai lembaga donor dapat berjalan masif. Untuk mencapai hal itu maka pengaturan zonasi perlu dilakukan. Hal ini berdampak langsung pada nelayan yang semakin terpinggirkan. Kita mungkin bertanya, mengapa Blue economy memperkuat bias daratan? Itu karena laut dianggap ruang kosong yang bisa diinvestasikan.
Pertanyaan berikut yang tak kalah menarik dari pertanyaan sebelumnya adalah mengapa ekonomi politik di negara kita berhenti pada Green dan Blue economy?
Kita mulai menyadari bahwa Negara mengadopsi pendekatan teknokratis untuk menghindari reformasi struktural. Green dan Blue economy kemudian dianggap mampu memberi solusi “teknis-modern” tanpa mengubah distribusi kekuasaan dan sumber daya. Padahal, faktanya Negara kita menganut ekonomi politik yang didominasi oligarki. Hal ini membuat transisi ekologis, yang mengancam kepentingan modal besar otomatis dapat disederhanakan menjadi varian teknokratis yang aman bagi bisnis. Standar negara kita dalam prospek pembangunan mengacu pada “keberlanjutan global” yang diciptakan lembaga keuangan internasional. Ketergantungan ini akhirnya melahirkan kebijakan yang pro pasar, bukan pro rakyat.
Adanya pelemahan kebijakan yang pro rakyat diduga kuat akibat lemahnya politik alternatif. Kita tahu kalau gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan ekologis belum sepenuhnya menjadi arus utama. Hal ini membuat paradigma alternatif berupa ekonomi solidaritas, ekonomi komunitarian, degrowth, ekonomi ekologis tidak pernah masuk agenda nasional. Padahal kebijakan Green dan Blue economy hanya rebranding dari sistem ekonomi ekstraktif; hanya mengubah nama tetapi strukturnya tetap.
Yang terparah adalah adanya penyingkiran dimensi keadilan sosial dan ekologis dengan cara membebani kategori “keberlanjutan” pada pereduksian menjadi efisiensi, konservasi teknis, teknologi energi, dan inovasi industri. Padahal inti “keberlanjutan” mestinya diarahkan pada distribusi manfaat seperti keadilan ekologis, dan hak-hak komunitas. Dari sini bisa kita lihat kalau kebijakan Green dan Blue economy mengabaikan hal penting yaitu menempatkan ekologi sebagai relasi. Green dan Blue economy akhirnya lebih tampak sebagai malapetaka karena memperlakukan alam sebagai karbon, jasa ekosistem, komoditas wisata, serta sumber energi. Bukan sebagai relasi sosial-kultural masyarakat lokal.
Kritik ini tentu bukan berangkat dari alasan “sok suci”, apalagi alasan presitisius. Tetapi, sebagai sikap sadar untuk melihat kembali apa yang paling baik bagi kita sekarang dan bagaimana cara kita mewariskan bumi kepada generasi mendatang. Maka sudah sepatutnya kita ajukan antitesa untuk membangun arah alternatif melampaui Green dan Blue economy. Apa yang mestinya dilakukan? Pertama, kita perlu menempatkan ekonomi ekologis berbasis keadilan dengan mengintegrasikan demokratisasi sumber daya alam, pembatasan eksploitasi (meskipun sulit dilakukan karena berurusan langsung dengan oligarki), pengakuan hak masyarakat adat (dengan cara mendefinisikan ulang pengertian paling otentik dari istilah “masyarakat adat” itu sendiri). Kedua, perlu adanya dukungan terhadap koperasi masyarakat, ekonomi lokal, dan produksi berbasis komunitas. Ketiga, kita juga perlu mengurangi ketergantungan pada ekspor komoditas primer melalui diversifikasi ekonomi, pembatasan pertumbuhan destruktif, serta penghentian proyek ekstraktif intensif. Lebih jauh, kita perlu menggenjot degrowth dengan dalil bahwa pertumbuhan bukanlah tujuan, serta kesejahteraan jangka panjang adalah prioritas! (***)














