Opini  

Warisan kolonial dan Kultur Birokrasi Kita.

Di tulis oleh: M. Riski Pratama.

Kader HMI Kota Ternate

Dalam nalar umum masyarakat kita, penjajahan diletakkan pada konteks orang asing mencakup sistem yang melakukan penjajahan, penjajahan hanya dilihat pada konteks orang belanda dengan sistemnya dalam ruang lingkup tertentu.

Ketika kekuasaan telah peralihan ketangan pribumi pejajahan dianggap telah usai yang hanya meninggalkan jejak masa lalu. Hal ini meninggalkan ambiguitas dibalik ketidak adanya kolonialisme, masyarakat masi terus miskin , ruang hidupnya dirampas lewat kebijakan. Baru-baru ini banyak sekali konflik agraria yang beredar di media sosial maupun media nasional.

Konflik masyarakat pulau Adonara NTT dan PT Krisrama , masrakat kawasi Maluku Utara yang direlokasi akibat aktifitas pertambangan, Masyarakat Pulau Komodo yang dipindahkan demi Investasi Pariwisata, kasus rempang di Sumatra , kasus pagar laut di Ibu kota dan yang paling terbaru adalah konflik tanah adat di masyarakat Halmahera Timur dengan sembaki tambang sentosa.

Dari sekian banyak kasus memperlihatkan bahwa kebijakan pemerintah tidak memihak pada rakyat kecil melainkan kepentingan oligarki, membuat kita bertanya apakah penjajahan telah berakhir atau malah elit kita terus mewarisi kebijakan buruk ini. Jika kita telaah definisi penjajahan pada konteks praktik penindasan dalam bentuk kebijakan, penjajahan masi terus ada dan menjadi warisan pemangku kebijakan hari ini.

Kolonialisme dan akar kemiskinan

Untuk mengungkap situasi hari ini tentunya tidak bisa melepaskan kontruksi historys , mengulas sejarah adalah langkah konstruktif . Anthony Reid, menyebutkan perubahan kultur ekonomi kita yang berpusat pada perdagangan kelautan (maritim) hilang akibat kebijakan kolonial.

Sebagai negri yang lautnya lebih luas dari daratan, serta ketersediaan kayu melimpah tentunya secara alamiah membentuk kebiasaan orang-orang nusantara sebagai pelaut dan mahir dalam pembuatan perkapalan, Jung adalah kapal pedagang lokal dalam mendistribusikan komoditi, namun kapal ini dilarang produksi oleh kolonial, demi mendominasi jalur perdagangan.

Orang-orang nusantara ratusan tahun telah melakukan perdagangan bebas, harus tunduk terhadap monopoli perdangan kolonial, ketakutan terhadap pribumi yang menjual komoditaas terhadap pedagang arab dan China, mengharuskan kolonial mengatur arus perdangan sepihak, pelarangan terhadap pembuatan kapal ini memicu hilangnya kelas pedagang dan menjadi akar-akar kemiskinan di indonesia.

Kelas pedagang pribumi bergeser menjadi buruh perkebunan kolonial, perubahan pola produksi ini berimbas pada perubahan sosial kultur atau pergeseran kelas pedagang ke kelas buruh, pergeseran masyarakat kota ke agraris.

Peran pribumi terhadap kolonialisme.

Beberapa waktu lalu rocky gerung sempat mengeluarkan pernyataan bahwa sekali-kali kita jangan hanya membuat patung para pejuang melainkan para penghianat agar terus dikenang. Dalam sejarah kita, Banyak hal yang belum terungkap termasuk peran yang dimainkan para elit lokal khsusnya diera kolonial. Sebelum kedatangan kolonial persaingan antar kerajaan atau antar keluarga kerjaan sudah tertanam jauh, kesusksesan belanda dalam penajajahnya tidak terlepas dari penerapan politik pecah belahnya.

Pertarungan kepentingan-kepentingan kekuasaan elit lokal dimanfaatkan oleh kelompok kolonial, misalnya pada awal abad 17 belanda memanfaatkan pertarungan trunajaya dan amangkurat I kerajaan mataram dengan bantuan persenjataan mereka, kegagalan perang diponegoro 1925-1930 dengan kekuatan pasukan besar tidak melepas pisahkan kontribusi kelompok pribumi membantu kolonial , setelah perang jawa berakhir kolonial membuat sistem tanam paksa, kelompok pribumi yang berpihak pada kolonial ditugaskan menjadi pejabat-pejabat birokrasi, membantu jalannya sistem ini, hal ini relevan dengan vidio yang beredar dimedia sosial baru-baru ini menunjukan ada bukti dokumen pembayaran kerja rodi namun dikorupsi oleh elit pribumi.

Konflik politik elit pribumi pasca kemerdekaan.

Intrik politik elit tampaknya telah mendarah daging, perbedaan kepentingan tidak pernah selesai dalam meja perundingan pancasila atau konsolidasi kebangsaan. Program benteng yang dicanangkan kabinet syahril pada tahun 1950 berusaha menghadirkan burjuasi pribumi justru mengalami kegagalan, karena dihiasi oleh syarat kepentingan kelompok-kelompok politik, ini menjadi awal corak politik patrinomial, perebutan aset-aset peninggalan kolonial menjadi konflik internal pemerintahan.

Richard robinson mengatakan perebutan kepentingsn aset antar kelompok partai komunis indonesia dan tentralah yang melahirkan G30SPKI, terlepas dari banyak penafsiran pelaku sebenarnya dari gerakan ini yang jelas motifnya adalah kepentingan kelompok, Jangan heran semasa pemerintnahan soeharto banyak kelompok tentara yang yang menguasi perekonomian.

Konflik ini terus mewarnai siklus politik inidonesia,awal era reformasi pembentukan banyaknya partai adalah tanda kelompok-kelompok elit semakin melebar yang disebut Richard Robinson sebagai kelahiran orang kaya baru, sistem pemerintahan yang tidak stabil, perebubutan sumber daya alam lewat konflik horisontal menghiasi situasi politik indonesia. (suku,agama maupun pusat dan daerah}. Tahmryn amal Tomagola mengulas dalam bukunya Republik Kapling bahwa konflik horysontal yang menghiasi daerah Timur indonesia adalah pemermainan elit tertentu dengan kepentingan perebutan sumber daya alam.

Nasib rakyat imbas konflik elit kekuasaan.

Mengulang pembahasan sebelumnya intrik politik adalah bagian dari situasi sosial kita yang mengakar ratusan tahun bahkan sebelum kedatangan bangsa eropa, pertarungan-pertaruangan kepentingan elit kekuasaan ini memiliki dampak luas terhadap masyrakat akar rumput, baik diera belanda maupun pasca kemerdekaan.

Libido kekuasaan politik maupun ekonomi menggunakan cara-cara kotor dengan mengorbankan rakyat. Sangat mustahil kekuasaan belanda yang cukup lama tidak memiliki pemain-pemain lokal. Perlu di garis bawahi kami tidak menjastifikasi bahwa semua elit politik tidak memihak pada kepentingan rakyat.

Yang kami maksudkan dengan warisan penjajahan adalah praktek-praktek pecah belah demi memuluskan kepentingan kelompok tertentu, yang dalam sisi lain, rakyat menjadi korban, kepentingan-kepentingan rakyatpun terabaikan, situasi-situasi sejarah ini harrusnya menjadi pembelajaran, rakyat tidak memihak buta pada kalangan elit tertentu ,yang harus dilihat adalah sejauh mana kebijakan elit memimihak pada kepentingan publik.

Harus kita akui sistem demokrasi yang kita pakai saat ini tidak diikikuti dengan perubahan sosial masyarakat,. Pemimpin tidak dianggap sebagai pengawal kepentingan rakyat melainkan titisan-titisan takdir dan garis-garis keturunan seperti era feodalisme.

Sistem kita memang telah berubah ke demokrasi sedangkan kultur kita masih sangat feodal, kebenaran diukur berdasarkan warna partai, etnis dan agama. Padahal kultur demokrasi adalah berpikir berdasarkan kepentingan publik. Ketidaktahuan ini kemudian dieksploitasi kelompok elit tertenu dengan kebijaknya yang tidak memihak pada kepentingan publik.

Kemerdekaan harusnya kita tafsirkan bukan hanya pergantian pemegang kekuasaan dari belanda ke pribumi, melainkan rakyat mampu merasakan keadilan dan kesejahtraan sesuai sila kelima, jika ini belum terpenuhi maka penjajah sesungguhnya masi terus ada menjadi warisan kolonial. Terus dipraktekkan elit kekuasaan dengan wajah yang berbeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *