TERNATE – HabarIndonesia. Iklim investasi tambang di Maluku Utara kian memanas. Di balik geliat ratusan izin tambang yang beroperasi, jeritan nelayan kian lantang.
Pemerintah Provinsi Maluku Utara dihimbau untuk tidak sekadar menjaga investasi, tapi harus berpihak kepada rakyat pesisir yang hidupnya terancam oleh kerusakan lingkungan.
Hingga kini, hanya sebagian kecil perusahaan tambang yang memiliki smelter. Namun dampak ekologis yang ditinggalkan sudah sangat terasa.
Laut tercemar, ikan menghilang, dan nelayan kehilangan harapan. PLT Ketua DPC HNSI Halmahera Timur dan Wakil Sekretaris HNSI Maluku Utara, Taufik M. Yusup, bersuara keras.
“Jika semua izin tambang itu beroperasi, maka tamat sudah kehidupan nelayan di Maluku Utara.” ujarnya Taufik.
Taufik menyebut pengalaman pahit operasi PT ANTAM Tbk di Pulau Gebe sebagai bukti nyata.
“Sejak 1974 hingga 2008, PT ANTAM beroperasi, tetapi ekonomi Maluku Utara tidak pernah bangkit. Yang tersisa hanyalah kerusakan ekologi yang tak pernah dipulihkan,” tegasnya.
Kondisi makin mengkhawatirkan ketika nelayan di Halmahera Tengah dilarang melaut di Teluk Weda oleh Dinas Kelautan dan Perikanan.
Alasannya, teluk itu sudah tercemar logam berat! Ini bukan lagi isu kecil, ini ancaman nyata bagi kelangsungan hidup ribuan nelayan dan masa depan laut Maluku Utara.
Yang paling ironis, nelayan Maluku Utara justru sudah diakui dunia sebagai pelaku perikanan berkelanjutan.
Mereka telah mengantongi sertifikasi Fair Trade dan MSC (Marine Stewardship Council), menjual ikan tuna berkualitas tinggi ke pasar Eropa dan Amerika. Tapi semua itu kini terancam sirna akibat kerakusan tambang.
Jika pencemaran terus berlangsung, pasar ekspor akan tutup pintu. Harga tuna nasional tidak bisa menutupi biaya operasional nelayan yang tinggi.
Dengan bahan bakar yang mahal dan jarak fishing ground yang jauh, nelayan bakal rugi dua kali lipat. Satu karena tambang, dua karena negara abai.
Taufik mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara untuk harus dan segera bertindak.
“UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 sangat jelas mengatur perlindungan pesisir dan laut. Kenapa tambang-tambang ini tetap dibiarkan beroperasi tanpa dokumen mitigasi ekologi dan RT/RW laut?,” jelas taufik.
DPC HNSI di seluruh kabupaten/kota kini bersiap menyatukan barisan. Taufik menyatakan, nelayan akan mengkonsolidasikan aksi pemboikotan seluruh pelabuhan sebagai bentuk mosi tidak percaya kepada pemerintah provinsi.
“Kami meminta PLT Kepala Dinas Perikanan, Kanda Fauji Momole, untuk bersikap tegas. Jika tidak, maka HNSI siap memimpin perlawanan nelayan. Ini bukan hanya soal mata pencaharian, ini soal hak hidup dan kedaulatan laut kami,” tutup Taufik dengan nada keras.
(Red)