Ternate–HabarIndonesia. Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ternate menggelar Talk Show dan Buka Puasa Bersama dengan tema “Ramadhan Bercerita: Kisah Dari Mereka Yang Pernah Hilang”. Rabu 19/03/25.
Acara yang berlangsung di Auditorium Kampus IAIN Ternate, Kelurahan Dufa-Dufa, Kecamatan Ternate Utara ini menghadirkan narasumber dengan latar belakang luar biasa.
Talk show ini menghadirkan Galang Jiwa Wardana, mantan narapidana dan eks anggota kelompok ekstremisme, Kasatgaswil Malut Densus 88, serta Prof. Dr. Jubair Situmorang, M.Ag.. Diskusi dipandu oleh dua host, Cut Farah Rahmat dan Hijri Aulia Bahri.
Dalam sesi diskusi, Abu Galang sapaan akrab Galang Jiwa Wardana, menceritakan bagaimana ia dahulu terjerumus dalam kelompok ekstremisme yang menggunakan dalil jihad sebagai justifikasi tindakan mereka.
“Jika kita ingin diampuni dosanya, maka kita harus berjihad fi sabilillah,” ungkapnya.
Pada 2019, Galang bersama istrinya ditangkap saat melarikan diri ke Surabaya dan menjalani hukuman penjara selama 2 tahun 8 bulan. Namun, di balik jeruji, ia menemukan hidayah dan menyadari kesalahannya.
“Setelah bebas, saya langsung membantu Densus 88 karena sadar telah memilih jalan yang salah,” ujar Galang.
Kasatgaswil Densus 88 Malut yang hadir dalam acara tersebut menjelaskan bahwa Galang adalah contoh nyata individu yang sempat hilang arah namun berhasil kembali ke jalan yang benar.
Ia juga memaparkan dua metode utama Densus 88 dalam menangani radikalisme, yakni Hard Approach dan Soft Approach:
1. Hard Approach (Hard of Prous) – Upaya hukum seperti penyelidikan, pengumpulan barang bukti, hingga tindakan tegas terhadap pelaku terorisme.
2. Soft Approach (Soft of Prous) – Pendekatan humanis, seperti sosialisasi, program deradikalisasi, serta patroli siber selama 24 jam untuk memantau pergerakan ekstremisme di media sosial.
Sementara itu, Prof. Dr. Jubair Situmorang, M.Ag. menyoroti bahwa penyebab utama seseorang terpapar radikalisme adalah minimnya pemahaman tentang moderasi beragama.
“Ketidakseimbangan dalam memahami ajaran agama serta keyakinan yang sempit terhadap Tuhan sering kali menjadi pemicu seseorang terjerumus dalam paham radikal,” jelasnya.
Acara ini menjadi momen refleksi bagi peserta, terutama mahasiswa, agar lebih kritis dalam menyaring informasi keagamaan dan tidak mudah terpengaruh paham ekstremisme.
(Agis)