Halteng-HabarIndonesia. Sebanyak sembilan pekerja tambang PT Mining Abadi Indonesia (MAI) mengadu ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Halmahera Tengah setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diduga dilakukan secara sepihak oleh perusahaan.
Mereka didampingi oleh Wakil Ketua Komisi I DPRD Halmahera Tengah, Putra Sian Arimawa, saat melaporkan kasus ini ke Disnaker. Para pekerja menilai bahwa PHK yang mereka alami tidak memiliki dasar yang jelas, sehingga mereka meminta intervensi pemerintah untuk mencari keadilan.
Putra Sian Arimawa menjelaskan bahwa para pekerja yang di-PHK telah kehilangan pekerjaan tanpa kejelasan alasan, sehingga diperlukan langkah hukum untuk memastikan hak-hak mereka tetap terpenuhi.
“Kami mendampingi tiga orang perwakilan dari sembilan pekerja yang diberhentikan oleh PT MAI. Mereka dipecat tanpa alasan yang jelas. Kami sudah mendatangi kantor Disnaker untuk mengajukan pengaduan agar kasus ini segera ditindaklanjuti,” kata Putra kepada wartawan, Senin (17/3/2025).
Menurut Putra, perusahaan harus memberikan penjelasan secara terbuka mengenai alasan PHK, terutama jika memang ada pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja.
“Kalau memang ada kesalahan dari pihak pekerja, setidaknya hak-hak mereka harus dipenuhi. Jangan sampai mereka diberhentikan begitu saja tanpa kepastian hukum,” tambahnya.
Menanggapi laporan tersebut, Dinas Ketenagakerjaan Halmahera Tengah berencana memanggil pihak perusahaan untuk melakukan mediasi.
Langkah ini dilakukan guna memastikan bahwa PHK yang dilakukan oleh PT MAI sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa PHK tidak boleh dilakukan tanpa alasan yang sah dan harus melalui proses yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, termasuk pemberian pesangon dan hak lainnya.
Putra juga menyoroti bahwa PHK ini terkesan subjektif karena tidak ada indikator penilaian kinerja yang jelas dari perusahaan sebelum pekerja diberhentikan.
“Kami ingin tahu alasan konkret mengapa mereka di-PHK. Kalau memang ada dasar kinerja, seharusnya ada dokumen asesmen yang menunjukkan pelanggaran atau ketidaksesuaian kerja. Di perusahaan lain, seperti PT IWIP, ada lembar evaluasi kinerja yang menjadi dasar pemberhentian. Jika PT MAI tidak memiliki hal serupa, maka keputusan ini patut dipertanyakan,” tegasnya.
Ia pun meminta agar perusahaan tidak melakukan PHK berdasarkan subjektivitas, melainkan harus melalui prosedur yang jelas dan sesuai regulasi.
“Kami berharap PT MAI terbuka dalam kasus ini. Jika tidak, jangan-jangan putusan pemberhentian ini hanya berdasarkan suka dan tidak suka. Hal seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, PT MAI belum memberikan pernyataan resmi terkait pengaduan pekerja ini.
Jika tidak ada penyelesaian melalui mediasi, kasus ini berpotensi dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) untuk menentukan apakah PHK yang dilakukan sudah sesuai prosedur atau melanggar hak-hak pekerja.
(Opal)