TERNATE – HabarIndonesia. Polemik pencemaran laut di kawasan pertambangan kembali memanas. DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Maluku Utara dengan tegas menyatakan sikap atas hasil riset Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako yang mengungkap potensi kerusakan ekologis akibat aktivitas pertambangan di wilayah pesisir.
Isu ini bukan baru sejak 2022, DPD HNSI telah memfasilitasi dialog dengan sejumlah perusahaan tambang, termasuk PT Antam Tbk dan PT IWIP, kamis 05/06/25.
Plt Ketua DPD HNSI Maluku Utara, Hamka Karepesina, S.Pi., M.Si, menyampaikan bahwa langkah ini diambil karena adanya keluhan dari para nelayan yang diterima melalui Pusat Pengelolaan Pengaduan Nelayan Maluku Utara (P3N), terutama dari kawasan Teluk Weda dan Teluk Buli yang terdampak langsung.
“Dalam beberapa pertemuan dengan pihak perusahaan, kami menuntut kejelasan soal grand desain mitigasi ekologi yang real, bukan hanya retorika dalam dokumen AMDAL yang seringkali tidak diimplementasikan di lapangan,” tegas Hamka.
HNSI menilai respon pemerintah daerah masih minim. Padahal, sudah semestinya Dinas Lingkungan Hidup bersama lembaga akademik lokal melakukan riset lingkungan secara berkala di wilayah seperti Weda, Buli, Kawasi, dan Pulau Gebe. Wilayah-wilayah ini adalah titik kritis yang berisiko tinggi tercemar akibat ekstraksi tambang yang agresif.
“Jika nelayan dibiarkan berjuang sendiri, maka kita sedang menyaksikan kehancuran perlahan atas salah satu sumber kehidupan masyarakat pesisir. Ini soal nyawa dan penghidupan, bukan sekadar angka produksi tambang,” ujar Hamka lantang.
HNSI menekankan bahwa perlindungan terhadap nelayan adalah mandat konstitusi, sebagaimana tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Setiap perusahaan wajib menjamin tidak ada kerugian bagi masyarakat terdampak, termasuk nelayan.
Mirisnya, HNSI menyesalkan sikap beberapa instansi yang justru menyampaikan pernyataan bernada meragukan hasil riset yang sudah dipublikasikan.
“Jika ingin membantah, silakan dengan riset ilmiah. Jangan asal bicara tanpa dasar. Ini soal kredibilitas dan keadilan publik,” kata Hamka geram.
DPD HNSI mendesak seluruh perusahaan tambang untuk membuka secara transparan dokumen mitigasi ekologinya kepada publik. Tanpa transparansi, kepercayaan masyarakat, khususnya nelayan, akan terus terkikis dan bisa memicu konflik sosial yang lebih besar.
Dampak limbah tambang tidak main-main. Penurunan kualitas ikan tak hanya berdampak pada kesehatan nelayan dan keluarga mereka, tetapi juga kepercayaan konsumen nasional dan internasional. Terlebih, sistem ketertelusuran (traceability) pada produk perikanan kini menjadi standar ekspor.
“Kita tidak ingin hasil tangkapan nelayan dari Maluku Utara ditolak pasar internasional karena dianggap terkontaminasi limbah tambang. Ini bisa mematikan seluruh mata rantai ekonomi pesisir,” papar Hamka.
Ia mengingatkan bahwa sejarah kelam pencemaran lingkungan di Maluku Utara sudah cukup panjang, dari eksploitasi PT Aneka Tambang di Pulau Gebe sejak 1974, hingga kerusakan berat di Pulau Pakal, Halmahera Timur. Bukti-bukti kerusakan lingkungan akibat tambang sudah tidak bisa ditutup-tutupi lagi.
“Perusahaan tambang tidak bisa terus bersembunyi di balik dokumen AMDAL! Sudah waktunya mereka mendesain ulang strategi perlindungan ekologi secara nyata, bukan hanya formalitas. Jika tidak, kami pastikan gelombang perlawanan nelayan akan terus membesar,” tutup Hamka.
(Red)