HALTIM – HabarIndonesia. Ketegangan antara masyarakat adat Qimalaha dan PT Sambiki Tambang Sentosa (STS) memuncak. Ratusan warga dari Desa Wayamli dan Yawanli melakukan aksi blokade terhadap aktivitas perusahaan tambang nikel tersebut.
Aksi ini dipicu oleh dugaan penyerobotan tanah adat tanpa izin di wilayah Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Kamis 24/04/25.
Masyarakat menilai PT STS telah melecehkan hak-hak adat Qimalaha, tidak hanya dengan merambah tanah ulayat tanpa persetujuan, tetapi juga merusak lingkungan sekitar.
“Kami tidak akan mundur. Tanah ini milik leluhur kami dan kami akan jaga sampai titik darah penghabisan,” tegas salah satu tokoh adat saat orasi.
Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi (PSKD), Hasan Basri, turut angkat bicara. Ia menekankan bahwa konstitusi Indonesia jelas melindungi hak-hak masyarakat adat.
“Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati hak-hak tradisional masyarakat hukum adat,” ujarnya.
Hasan juga mengingatkan bahwa keberadaan masyarakat Qimalaha jauh mendahului kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, hak ulayat adalah penguasaan tertinggi masyarakat adat atas tanah mereka, yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun, termasuk perusahaan.
Sikap arogan PT STS kian terlihat dalam pertemuan mediasi yang digelar Pemerintah Daerah Haltim dan Tim Penyelesaian Lahan, Rabu 23 April lalu.
Dalam forum resmi di Kantor Bupati, perusahaan enggan menandatangani dokumen penghentian aktivitas tambang di tanah adat. Hal ini membuat masyarakat semakin geram dan menilai perusahaan tak punya itikad baik.
Hasan mendesak agar Pemerintah Kabupaten Haltim, DPRD, serta Pemerintah Pusat segera turun tangan dan mencabut izin operasi PT STS.
“Kalau perusahaan masih membandel dan tak menghormati masyarakat adat, maka tak ada pilihan lain mereka harus angkat kaki dari bumi Halmahera Timur,” tegasnya.
(Tax)