Opini  

Krisis Pendidikan dan Tantangan Perubahan

Afrisal Safrudin

(Sekum DEMA FTIK IAIN Ternate)

Tatanan moral pemerintahan kita saat ini tengah diuji oleh arus kapitalisme yang semakin kuat. Fenomena yang muncul ke permukaan adalah ketimpangan sosial yang mengarah pada kerugian besar bagi masyarakat, terutama dalam sektor pendidikan. Ketidakadilan yang terjadi semakin nyata, mengancam kualitas pendidikan dan menggesernya dari prioritas utama pembangunan bangsa.

Isu yang berkembang di ruang publik bukan lagi sekadar tentang kesehatan, melainkan bagaimana pendidikan justru semakin diabaikan. Pemerintah tampaknya semakin terjebak dalam aturan administratif yang kaku, kehilangan sentuhan moral dalam kebijakan yang diambil.

Nabi Muhammad SAW pernah berkata seusai Perang Badar, “Kita baru saja melewati perang kecil, tetapi akan menghadapi perang yang jauh lebih besar, yaitu perang melawan hawa nafsu.” Dalam konteks saat ini, perang besar itu bukan lagi pertempuran fisik, melainkan perjuangan untuk memastikan bahwa pendidikan tetap menjadi hak fundamental setiap warga negara.

Namun, ironisnya, kebijakan yang diterapkan justru seolah menjauhkan masyarakat dari pendidikan yang layak. Salah satu contoh nyata adalah program Makan Bergizi Gratis yang awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi dalam praktiknya tidak berdampak signifikan pada peningkatan kecerdasan generasi muda.

Alih-alih memberikan solusi jangka panjang, kebijakan ini justru berpotensi menciptakan ketergantungan tanpa adanya perbaikan kualitas pendidikan. Padahal, yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat saat ini adalah pendidikan gratis, bukan sekadar makanan gratis. Hal ini sejalan dengan amanat UUD NRI 1945 Pasal 31 Ayat (3) dan alinea keempat, yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sayangnya, realitas di tahun 2025 menunjukkan bahwa pendidikan masih terus dinomorduakan. Gelombang kapitalisme semakin menegaskan dominasi ekonomi atas aspek sosial, menciptakan dehumanisasi penghilangan harkat dan martabat manusia. Nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi landasan kebijakan publik semakin terkikis oleh keputusan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Kebijakan Hemat yang Mengancam Masa Depan Pendidikan. 

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam APBN dan APBD semakin memperjelas arah kebijakan yang lebih berfokus pada pemangkasan anggaran daripada memperhatikan kebutuhan masyarakat. Hal ini mengancam masa depan pendidikan Indonesia, terutama bagi mereka yang berusaha menyekolahkan anak-anaknya di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Pernahkah kita membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang tua yang harus berjuang keras agar anak-anak mereka bisa terus bersekolah? Pernahkah kita memikirkan betapa berat beban yang harus mereka tanggung? Jika kebijakan ini terus berjalan tanpa koreksi, maka dampaknya akan sangat nyata: ribuan, bahkan ratusan ribu anak Indonesia berisiko putus sekolah atau tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, terungkap bahwa pemangkasan anggaran pendidikan akan berdampak pada pengurangan berbagai program beasiswa, seperti KIP-K, Beasiswa Pendidikan Indonesia, Beasiswa ADIK, Beasiswa KNB, serta beasiswa bagi dosen dan tenaga kependidikan dalam negeri maupun luar negeri.

Jika ini benar-benar terealisasi, maka cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa akan semakin jauh dari jangkauan. Indonesia akan semakin tertinggal dalam pengembangan sumber daya manusia, yang seharusnya menjadi kunci utama kemajuan suatu negara.

Harapan di Tengah Ketidakpastian. 

Di tengah kekhawatiran ini, ada sedikit harapan. Pada 14 Februari 2025, Tempo melaporkan bahwa Pemerintahan Prabowo-Gibran melalui Menteri Keuangan memastikan tidak akan memangkas anggaran bantuan sosial untuk pendidikan. Namun, sejak awal, pemerintahan dengan struktur kabinet gemuk ini memang sudah mendapat sorotan karena kurangnya perhatian terhadap sektor pendidikan.

Menomorduakan pendidikan berarti menunjukkan kemunduran moralitas dalam pengambilan kebijakan. Dampaknya tidak hanya dirasakan di tingkat pusat, tetapi juga merembet hingga ke daerah.

Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mungkin akan kesulitan mengakomodasi kebutuhan pendidikan masyarakat, dengan dalih mengikuti arahan pusat untuk melakukan efisiensi anggaran. Jangan sampai di kemudian hari kita mendengar pernyataan seperti, “Kami tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat karena ada kebijakan efisiensi dari pusat.”

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip pernyataan John Gunn dalam bukunya Violence in Human Society: “Bencana krisis kemanusiaan dalam masyarakat akan terjadi bila ikatan sosial dalam bentuk cinta, keadilan, kepedulian, kasih sayang, dan saling pengertian telah hancur.”

Bagi Gunn, hancurnya nilai-nilai tersebut akan menggiring masyarakat ke arah kebodohan, di mana pendidikan tidak lagi menjadi prioritas dan generasi mendatang kehilangan kesempatan untuk berkembang.

Oleh karena itu, di tengah situasi bangsa yang kian kompleks ini, kita harus kembali menyalakan “cahaya keadilan” yang mulai redup. Kita perlu menebarkan “kilatan cahaya keadilan” untuk menerangi hati sanubari, membangkitkan kesadaran, dan memperjuangkan hak pendidikan bagi seluruh anak bangsa.

Sebab, tanpa pendidikan yang layak, kita bukan hanya kehilangan generasi yang cerdas, tetapi juga masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.

 

Sekian!!!!!!!!!!!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *