Oleh: Risal M. Nur
Mahasiswa STIH IBLAM, Fakultas Hukum
“Negara hukum tanpa keadilan hanyalah topeng bagi kekuasaan.” Ungkapan filsuf hukum Gustav Radbruch ini seolah menjadi potret paling tepat untuk menggambarkan realitas hukum Indonesia hari ini. Di tengah semangat reformasi yang terus digelorakan, kita justru masih menyaksikan ketimpangan yang akut antara kekuasaan politik dan penegakan hukum. Seolah hukum berjalan di bawah bayang-bayang politik, kehilangan keberanian moralnya untuk menegakkan keadilan secara setara.
Kekuasaan dan Ketimpangan dalam Pandangan Miriam Budiardjo
Prof. Miriam Budiardjo dalam karya klasiknya Dasar-Dasar Ilmu Politik menjelaskan bahwa kekuasaan bersifat asimetris selalu ada pihak yang dominan dan ada yang subordinat. Dalam struktur politik, ketidakseimbangan itu dapat berimplikasi langsung pada proses pengambilan keputusan dan implementasi hukum. Ia menekankan pentingnya checks and balances agar kekuasaan tidak terpusat dan tidak disalahgunakan. Namun, dalam praktik politik Indonesia, keseimbangan itu sering kali hanya hidup di atas kertas. Lembaga-lembaga negara yang seharusnya menjadi penjaga moral kekuasaan seperti DPR, Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan KPK tidak jarang terjebak dalam tarik-menarik kepentingan. Kinerja lembaga hukum bergantung pada arah angin politik, bukan pada prinsip keadilan. Fenomena ini membuktikan tesis Budiardjo bahwa kekuasaan yang tidak diawasi secara efektif akan menimbulkan kesenjangan politik dan hukum yang sistematis.
Realitas Penegakan Hukum di Indonesia
Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bagaimana hukum masih sering tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kasus-kasus besar yang melibatkan elit politik sering kali berjalan lamban, sementara rakyat kecil kerap menghadapi proses hukum yang cepat dan keras. Contohnya, dalam beberapa tahun terakhir publik menyoroti sejumlah kasus besar: mulai dari dugaan korupsi pejabat publik yang tertunda penuntasannya, hingga tragedi Brigadir J yang menyingkap sisi gelap kekuasaan dalam tubuh kepolisian.
Kasus-kasus ini membuktikan bahwa hukum belum sepenuhnya menjadi instrumen keadilan, melainkan masih rentan menjadi alat kekuasaan. Fenomena serupa tampak dalam proses legislasi. Revisi RUU KUHAP misalnya, dikritik banyak pakar karena berpotensi memperluas kewenangan jaksa tanpa mekanisme pengawasan yang memadai. Ini menandakan adanya konsentrasi kekuasaan dalam satu lembaga yang rawan disalahgunakan. Di sisi lain, proses seleksi hakim agung yang sarat dengan intrusi politik memperlihatkan betapa hukum di Indonesia belum sepenuhnya independen dari kepentingan kekuasaan. Proses hukum bisa dimobilisasi, diatur, bahkan dinegosiasikan. Dalam konteks ini, konsep negara hukum (rechtsstaat) yang menjadi cita-cita konstitusional justru bergeser ke arah rule by law hukum dipakai sebagai alat pengendali rakyat, bukan pengendali kekuasaan.
Kontrak Sosial yang Dikhianati
Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract menegaskan bahwa kekuasaan negara lahir dari perjanjian rakyat untuk melindungi hak-hak dasar mereka. Jika negara gagal menjamin keadilan dan kesetaraan, maka kontrak sosial itu telah dilanggar. Hal ini juga ditekankan oleh John Locke, yang menyatakan bahwa hak rakyat untuk menuntut keadilan muncul ketika kekuasaan bertindak di luar mandatnya. Dalam konteks Indonesia, lemahnya penegakan hukum dan dominasi politik dalam lembaga peradilan adalah bentuk nyata dari pengkhianatan terhadap kontrak sosial antara rakyat dan negara.
Pelanggaran terhadap prinsip keadilan ini semakin terasa ketika hukum hanya berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan, akses, dan modal. Masyarakat kecil yang berhadapan dengan hukum sering kali tidak memiliki pembelaan yang layak. Bantuan hukum yang terbatas dan birokrasi yang berbelit menjadi hambatan bagi mereka untuk memperoleh keadilan substantif. Padahal, sebagaimana ditegaskan Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, keadilan sejati bukan hanya persoalan prosedural, tetapi tentang memberi kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Keadilan Menurut Filsuf Barat dan Relevansinya untuk Indonesia
Konsep keadilan Aristoteles dibagi menjadi dua: distributive justice (pembagian hak dan sumber daya secara proporsional) dan corrective justice (pemulihan atas ketidakadilan). Dua bentuk keadilan ini semestinya berjalan beriringan. Namun, di Indonesia, keadilan distributif gagal diwujudkan karena kesenjangan sosial dan politik terlalu lebar. Akses terhadap keadilan masih bersifat eksklusif hanya mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan politik yang dapat menempuh jalur hukum dengan efektif. Sedangkan keadilan korektif juga sering diabaikan, karena proses hukum yang tidak berpihak pada korban atau pihak lemah.
John Rawls dalam A Theory of Justice mengajukan prinsip justice as fairness bahwa setiap ketimpangan sosial hanya bisa dibenarkan jika memberi manfaat bagi yang paling lemah. Prinsip ini menjadi cermin yang menyakitkan bagi Indonesia. Banyak kebijakan hukum dan politik yang justru memperparah ketimpangan, bukan memperbaikinya.
Ketika hukum hanya menjadi pagar bagi kepentingan elite, maka keadilan kehilangan esensinya sebagai nilai moral universal. Sementara itu, Gustav Radbruch mengingatkan bahwa ketika hukum positif bertentangan secara ekstrem dengan keadilan, maka hukum itu kehilangan legitimasi moralnya. Dalam konteks Indonesia, peringatan ini begitu relevan. Hukum yang dibuat dengan niat baik pun bisa menjadi alat ketidakadilan jika dijalankan tanpa nurani.
Ketimpangan yang Terinstitusionalisasi
Ketimpangan dalam penegakan hukum di Indonesia bukanlah insiden sporadis, melainkan sudah terlembaga.
Regulasi yang longgar, birokrasi hukum yang lamban, dan budaya feodal dalam institusi penegak hukum menjadikan sistem ini rapuh di hadapan intervensi politik. Banyak pejabat yang diproses hukum baru setelah tekanan publik memuncak, bukan karena sistem hukum bekerja otomatis.
Hal ini sejalan dengan kritik Miriam Budiardjo bahwa politik tanpa moral hanya melahirkan kekuasaan yang timpang. Ketika lembaga hukum tidak memiliki kemandirian, demokrasi pun kehilangan substansinya. Demokrasi tidak hanya berarti pemilihan umum, tetapi juga kesetaraan di hadapan hukum. Kelemahan budaya hukum di Indonesia terlihat dari rendahnya integritas aparat dan minimnya keberanian moral untuk menegakkan keadilan secara independen. Penegak hukum sering kali bekerja berdasarkan loyalitas institusional atau politik, bukan pada nilai keadilan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap sistem hukum terus menurun.
Menegakkan Hukum dengan Nurani
Kita tidak membutuhkan hukum yang lebih banyak, melainkan hukum yang lebih bermoral. Hukum yang baik tidak hanya berbicara soal prosedur, tetapi tentang keberpihakan pada kebenaran dan kemanusiaan. Untuk itu, reformasi hukum tidak boleh berhenti pada aspek struktural seperti perubahan undang-undang tetapi harus menyentuh aspek kultural, kesadaran moral para penegak hukum dan elite politik.
Perlu penguatan lembaga pengawas independen seperti Komisi Yudisial, Komnas HAM, dan Ombudsman, yang dapat mengawasi aparat hukum tanpa intervensi politik. Transparansi dalam seleksi hakim dan pejabat hukum juga penting agar masyarakat bisa ikut mengawasi. Dan yang tak kalah penting, pendidikan hukum harus menanamkan nilai etika publik dan keadilan sosial sejak dini.
Karena sejatinya, hukum yang adil bukanlah hukum yang tunduk pada kekuasaan, melainkan hukum yang berani menegakkan nurani. Seperti kata Socrates, “Keadilan bukanlah milik penguasa, melainkan milik kebenaran.”
Hukum yang adil akan menegakkan martabat bangsa, hukum yang timpang hanya akan melahirkan ketidakpercayaan dan kemarahan rakyat. Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah hukum bisa ditegakkan, melainkan apakah kita masih memiliki keberanian moral untuk menegakkannya secara setara bagi semua warga, tanpa kecuali.