Ternate–HabarIndonesia. Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret menjadi refleksi atas panjangnya perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan. Berbagai isu masih menjadi pekerjaan rumah, mulai dari kekerasan berbasis gender hingga dampak ekologis yang kerap diabaikan. Sabtu 08/03/25.
Merespons hal ini, Front Anti Kekerasan (FAK-JUJARUH) dan FAMM-Indonesia menggelar diskusi di Gedung NBCL, Kelurahan Sasa, Ternate. Sepuluh perempuan hadir sebagai pembicara, berbagi pandangan dan pengalaman dalam mengawal isu-isu perempuan.
Ketua Korps HMI Wati (Kohati) Cabang Ternate Terpilih, Siti Sakinah Kasturian, menegaskan bahwa perjuangan perempuan harus lebih dari sekadar wacana. Ia menyoroti bahwa keterlibatan perempuan dalam kebijakan ekonomi, politik, dan lingkungan harus terus diperjuangkan.
“Banyak yang masih berpikir isu perempuan hanya soal kekerasan seksual, padahal lebih luas dari itu. Salah satunya adalah ekologi. Perempuan sangat rentan terhadap dampak kerusakan lingkungan,” katanya.
Sakinah mencontohkan pencemaran Sungai Sagea di Maluku Utara, yang berdampak langsung pada kehidupan perempuan. Ia menekankan bahwa perempuan, sebagai penjaga rumah tangga dan komunitas, sering kali menjadi pihak pertama yang merasakan dampak dari lingkungan yang rusak.
“Ketika lingkungan rusak, perempuan yang pertama kali terdampak. Air yang tercemar mempengaruhi kesehatan dan ekonomi rumah tangga,” tambahnya.
Selain itu, ia menyoroti stagnasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang hingga kini belum disahkan. Menurutnya, ini menunjukkan betapa sulitnya kebijakan yang berpihak pada perempuan untuk benar-benar diwujudkan.
“RUU PPRT sudah masuk Prolegnas sejak era Presiden SBY, tapi selama 20 tahun belum juga disahkan. Ini membuktikan bahwa kebijakan perlindungan perempuan masih belum menjadi prioritas,” ujarnya.
Diskusi ini juga melahirkan sejumlah rekomendasi yang diharapkan bisa menjadi langkah konkret dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Sakinah menegaskan pentingnya sinergi antarorganisasi perempuan agar perjuangan bisa lebih efektif dan memiliki dampak luas.
“Kita tidak boleh bergerak sendiri-sendiri. Harus ada dukungan kolektif agar kebijakan yang berpihak pada perempuan benar-benar terwujud,” pungkasnya.
Momentum Hari Perempuan Internasional ini mengingatkan bahwa perjuangan belum selesai. Dari ruang diskusi hingga kebijakan negara, suara perempuan harus terus diperjuangkan agar tidak lagi terpinggirkan.
(Opal)