Opini  

Saatnya Negara Tegas. Cabut Izin Tambang di Pulau Gebe

Ditukis Oleh: Salahuddin Lessy

(Pemerhati Pertambangan dan Lingkungan)

Pulau Gebe, sebuah pulau kecil di Maluku Utara, kini menjadi panggung dari drama lama yang terus berulang di Indonesia: benturan antara kepentingan investasi tambang dan hak hidup masyarakat serta kelestarian lingkungan. Tujuh entitas tambang disebut beroperasi dengan izin yang patut dipertanyakan legalitasnya. Jika benar terbukti melanggar hukum, khususnya larangan eksploitasi tambang di pulau kecil, maka tidak ada pilihan lain selain pembatalan izin secara tegas.

Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang kegiatan yang mengancam keberlanjutan ekosistem pulau kecil. Putusan Mahkamah Konstitusi juga memperkuat bahwa kepentingan publik dan kelestarian lingkungan harus menjadi pertimbangan utama dalam tata kelola sumber daya di wilayah pesisir. Dengan kata lain, kerangka hukum nasional menegaskan bahwa Pulau Gebe dengan luas yang terbatas, ekosistem rapuh, dan populasi masyarakat lokal yang bergantung pada laut adalah wilayah yang tidak boleh dijadikan ladang eksploitasi tambang.

Namun, praktik di lapangan kerap menceritakan hal berbeda. Kelemahan pengawasan, tarik menarik kepentingan politik-ekonomi, serta celah birokrasi membuat izin tambang bisa lolos, bahkan di pulau-pulau kecil yang jelas masuk kategori terlarang. Dalam kasus Gebe, indikasi tumpang tindih izin, lemahnya verifikasi AMDAL, hingga kelalaian rehabilitasi pasca tambang memperlihatkan pola klasik: keuntungan jangka pendek korporasi ditempatkan di atas hak generasi mendatang.

Pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM dan KLHK, sebenarnya memiliki instrumen untuk bertindak. Aturan mengatur sanksi bertingkat: mulai dari teguran tertulis, penghentian sementara, hingga pencabutan izin usaha pertambangan. Surat teguran kepada pemegang izin pemanfaatan kawasan hutan (IPPKH) di Maluku Utara pada 2023 sudah menjadi preseden bahwa langkah administratif bisa dijalankan. Masalahnya, langkah-langkah tersebut sering berhenti di tengah jalan, memberi ruang bagi perusahaan untuk menunda-nunda kewajiban hingga masalah terlanjur kronis.

Pulau Gebe tidak bisa menunggu. Dampak kerusakan akibat tambang di pulau kecil bersifat permanen. Kerusakan hutan, sedimentasi pesisir, hilangnya sumber air tawar, serta degradasi terumbu karang adalah ancaman eksistensial. Lebih jauh, masyarakat lokal berisiko kehilangan ruang hidup dan identitas kulturalnya. Apa arti kedaulatan sumber daya alam bila warga Gebe sendiri justru menjadi korban?

Momentum pembatalan izin bagi ketujuh entitas perusahaan di Gebe bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi juga menguji kredibilitas pemerintah Indonesia dalam menjalankan janji pembangunan berkelanjutan. Dunia tengah menyoroti bagaimana negara-negara kepulauan melindungi pulau kecil dari krisis iklim. Indonesia seharusnya tampil sebagai teladan, bukan sebaliknya.

Argumen bahwa pencabutan izin akan mengurangi investasi tidak relevan. Investasi yang melanggar hukum dan merusak ekosistem tidak bisa disebut pembangunan. Yang dibutuhkan adalah investasi yang menghormati regulasi, hak masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan.

Karena itu, pemerintah tidak boleh ragu. Cabut izin tujuh entitas tambang tersebut bila terbukti melanggar hukum. Jadikan Pulau Gebe sebagai contoh bahwa negara tidak tunduk pada korporasi, melainkan berpihak pada rakyat dan masa depan lingkungan. (****)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *