Oleh: Rosdiana S. Syahman.
Mahsiswa Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Unkhair
Sejak ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara pada tahun 1999 berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2010, posisi Sofifi terus menjadi sumber polemik administratif dan politik. Pasalnya, Sofifi secara de jure masih merupakan bagian dari wilayah Kota Tidore Kepulauan, yang menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan memperumit jalannya pemerintahan provinsi.
Situasi ini telah berlangsung selama lebih dari dua dekade, menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakefisienan tata kelola. Dalam konteks ini, diperlukan solusi komprehensif dan integratif yang tidak hanya menyelesaikan persoalan administratif, tetapi juga menghormati nilai-nilai historis dan kultural daerah.
Dua Arah Solusi: Pemekaran Sofifi dan Penetapan Tidore sebagai Ibu Kota
Terdapat dua pendekatan yang dapat menjawab problem struktural ini.
Pertama, penetapan Kota Tidore Kepulauan sebagai ibu kota resmi Provinsi Maluku Utara, sebagai bentuk penghormatan terhadap warisan sejarah dan konsolidasi identitas daerah. Kedua, pemekaran Sofifi menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) agar memiliki status administratif yang jelas dan mampu menjalankan fungsi pemerintahan secara mandiri. Pendekatan ini tidak harus dipertentangkan, melainkan dapat saling melengkapi untuk menciptakan tata kelola yang efektif dan berkeadilan.
Tidore: Warisan Sejarah dan Identitas Maluku Utara.
Kesultanan Tidore adalah salah satu pusat kebudayaan dan peradaban Islam tertua di wilayah timur Indonesia. Wilayah ini bahkan pernah menjadi pusat administrasi Provinsi Perjuangan Irian Barat pada tahun 1956, dengan Sultan Zainal Abidin Syah sebagai gubernurnya. Posisi historis dan kultural ini memberikan dasar kuat untuk menjadikan Kota Tidore Kepulauan sebagai pusat pemerintahan provinsi.
Sebaliknya, Sofifi dipilih sebagai ibu kota atas dasar kompromi politik karena posisinya yang strategis di Pulau Halmahera, namun tanpa akar sejarah yang kuat. Hingga kini, sebagian besar aktivitas pemerintahan masih dilakukan di Ternate, bukan di Sofifi, karena minimnya infrastruktur dan kapasitas layanan publik.
Sofifi: Di Antara Status Formal dan Fakta Lapangan.
Secara hukum, Sofifi ditetapkan sebagai ibu kota. Namun secara administratif, ia masih berada di bawah kendali Kota Tidore Kepulauan. Hal ini menciptakan dualisme kewenangan yang menyulitkan koordinasi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kota, serta menimbulkan ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran dan pelayanan masyarakat.
Pasal 9 UU No. 46 Tahun 1999 memang menetapkan Sofifi sebagai ibu kota, tetapi tidak memberikan dasar hukum yang cukup bagi wilayah ini untuk menjalankan fungsi administratif secara mandiri. Maka, pemekaran Sofifi sebagai DOB menjadi solusi yang patut dipertimbangkan.
Pemekaran Sofifi: Menjawab Kebutuhan Yuridis dan Administratif.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2007, pembentukan DOB mensyaratkan kesiapan wilayah dalam aspek ekonomi, sosial, dan infrastruktur. Sofifi telah menunjukkan kemajuan signifikan sebagai pusat pemerintahan provinsi, sehingga pemekaran menjadi entitas otonom menjadi pilihan strategis untuk memperjelas kedudukan hukum dan administratifnya.
Dengan status DOB, Sofifi akan berdiri sejajar dengan Kota Tidore Kepulauan dan Kota Ternate, sehingga potensi konflik kewenangan dapat dieliminasi. Ini akan memperkuat kapasitas pemerintahan provinsi dan mempercepat pembangunan wilayah.
Rekonstruksi UU Maluku Utara: Tidore sebagai Pusat Pemerintahan.
Sebagai bagian dari solusi jangka panjang, pengaturan ulang status ibu kota provinsi harus dilakukan melalui revisi terhadap UU Provinsi Maluku Utara. Penegasan Tidore sebagai ibu kota akan memperkuat legitimasi historis dan identitas lokal, serta memperpendek rentang kendali administratif antara daratan Oba dan pulau-pulau sekitarnya.
Formulasi baru ini akan mengakhiri kebingungan selama 25 tahun terakhir, sekaligus mewujudkan tata kelola yang inklusif, berlandaskan nilai sejarah, dan menjawab kebutuhan masyarakat Maluku Utara secara nyata.
Kesimpulan dan Rekomendasi.
Polemik ibu kota Provinsi Maluku Utara bukan sekadar persoalan lokasi administratif, melainkan menyangkut integrasi antara sejarah, identitas daerah, dan efektivitas pemerintahan. Maka, solusi terbaik adalah menetapkan secara eksplisit Kota Tidore Kepulauan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara dalam revisi undang-undang, demi penghormatan terhadap sejarah dan efektivitas pemerintahan.
Mendorong pemekaran Sofifi sebagai Daerah Otonomi Baru, agar memiliki legitimasi hukum dan kapasitas administratif yang memadai sebagai pusat layanan pemerintahan. Kedua pendekatan ini merupakan jalan tengah yang saling memperkuat antara warisan sejarah dan tuntutan masa depan. Dengan langkah ini, Maluku Utara dapat menyongsong tata pemerintahan yang lebih terstruktur, berkeadilan, dan berkeadaban. (****)