Opini  

Patuh pada Partai atau Pihak Rakyat?

Oleh: Muhamad Asri Adende

Pemuda Pulau Hiri dan Ketua Komunitas Eurecha. 

Menjadi wakil rakyat di era demokrasi elektoral bukan perkara mudah. Di satu sisi, seorang legislator dipilih langsung oleh rakyat yang menitipkan harapan. Di sisi lain, ia terikat oleh struktur partai yang mengusung dan menentukan karier politiknya. Inilah dilema klasik yang menghantui banyak politisi lokal, termasuk Julfikri Hasan, anggota DPRD Kota Ternate dari Dapil Kepulauan.

Apakah Julfikri Hasan lebih patuh pada garis partai, atau ia sungguh-sungguh memperjuangkan mandat rakyat?
Ini bukan hanya pertanyaan spekulatif. Ini soal nasib warga Pulau Hiri yang menaruh suara dan keyakinan pada satu nama, satu wajah, satu harapan.hingga kini, kenyataan di lapangan masih jauh dari kata harapan

Pemilu 2024 menandai sebuah tonggak penting bagi masyarakat Pulau Hiri. Mereka tidak hanya mencoblos, mereka memilih dengan harapan: bahwa dengan mengirim Julfikri Hasan ke parlemen kota, suara mereka tak lagi tenggelam di tengah riuhnya pembangunan yang selalu bias daratan.

Pulau Hiri adalah contoh konkret dari bagaimana ruang pinggiran diperlakukan dalam logika pembangunan kota. Aksesibilitas, infrastruktur, layanan publik, semua tertinggal. Masyarakat Hiri selama ini hanya menjadi objek data dalam Musrenbang, sayangnya tak pernah menjadi subjek utama dalam keputusan anggaran. Di tengah kondisi ini, kehadiran figur seperti Julfikri Hasan menjadi simbol perubahan yang dinanti.

Selain daripada itu delapan bulan setelah pelantikan, yang terasa bukan pergerakan, melainkan bisa dibilang ada keheningan di tengah pergulatan Politik Kota. Deretan janji yang dilontarkan belum satu pun terealisasi secara etape dalam politik anggaran. Dermaga Hiri masih jauh dari kata layak. Akses air bersih dan sinyal internet tak kunjung merata, terutama di daerah seperti Fahudu. Wakil rakyat mereka justru seolah terperangkap dalam ritual politik parlemen yang sunyi dari teriakan pulau.

Partai Sebagai Mesin Kekuasaan

Untuk memahami posisi Julfikri, kita tak bisa melepaskan diri dari realitas sistem politik kita: partai politik bukan hanya kendaraan pemilu, tapi juga penentu hidup-matinya seorang politisi. Legislator seperti Julfikri harus menjaga loyalitas pada partai jika ingin mendapat rekomendasi ulang, posisi dalam alat kelengkapan dewan, atau tiket maju kembali lima tahun mendatang.

Di sinilah letak jebakan strukturalnya. Miriam Budiardjo, dalam kajian klasiknya tentang demokrasi dan kekuasaan, menggambarkan situasi ini sebagai “struktur kekuasaan tidak langsung”. Legislator seolah-olah mewakili rakyat, tapi dalam praktiknya, mereka mewakili kepentingan partai.

Dalam sistem ini, fraksi partai bukan hanya forum musyawarah, tapi menjadi instrumen kontrol yang bisa membungkam suara yang berbeda. Di ruang ini, Julfikri Hasan bisa jadi tersandera atau memilih untuk nyaman dalam kesanderaan itu.

Rekam Jejak: Julfikri harus berhati besar

Pertanyaan mendasarnya sederhana: sudahkah Julfikri Hasan tampil sebagai inisiator kebijakan di Parlemen?

Apakah ia mengusulkan rancangan peraturan daerah (Ranperda) terkait kawasan kepulauan? Apakah ia melakukan interupsi keras dalam sidang untuk memperjuangkan anggaran pembangunan Pulau Hiri? Bahkan saat seorang warga Pulau Hiri dihadapkan pada kekerasan oleh petugas Dishub, adakah suaranya terdengar di media sebagai pembela konstituen?

Jika tidak, maka yang sedang kita saksikan adalah menguatnya patronase partai yang mengabaikan mandat rakyat. Politik menjadi pertukaran personal antara elite partai dan kadernya, dan bukan lagi arena perjuangan bagi masyarakat yang termarjinalkan.

Padahal sangat jelas, fungsi legislator bukan hanya menyetujui anggaran dan menghadiri sidang. Legislator harus menjadi corong rakyat, pengganggu kenyamanan eksekutif, dan penjaga akuntabilitas kebijakan publik. Sebuah peran yang menuntut lebih dari sekadar kehadiran fisik tetapi juga keberanian moral.

Mengukur Kepatuhan: Rakyat atau Partai?

Dari semua gejala itu, kita patut bertanya secara jujur:
Apakah Julfikri Hasan telah menjalankan mandat rakyat, atau sekadar menjaga harmoni partai?

Jika tolok ukurnya adalah kerja nyata untuk dapil, maka jawabannya mengecewakan. Jika tolok ukurnya adalah ketenangan politik internal, maka Julfikri sangat sukses. Itu lah logika terbalik di wajah politik kita saat ini,dan apa gunanya duduk sebagai wakil rakyat jika justru menjadi bagian dari sistem yang membuat rakyat tidak bersuara?

Sikap pasif bisa saja dibungkus dengan narasi stabilitas politik, tetapi stabilitas yang menindas suara rakyat hanyalah bentuk baru dari otoritarianisme terselubung.

Politik Kepulauan dan Kewajiban Moral

Pulau Hiri adalah wilayah marginal dalam struktur kota. Dengan jumlah penduduk kecil dan akses yang terbatas, pulau ini sering dilihat sebagai pelengkap administratif. Tetapi dalam demokrasi, suara sekecil apapun wajib diperjuangkan.

Julfikri Hasan bukan hanya Nahkoda legislator. Ia adalah harapan simbolik masyarakat pulau, yang selama ini hanya jadi penonton dalam perencanaan kota. Ketika ia diam, maka bukan hanya pembangunan yang mandek simbol keadilan politik pun runtuh.

Patuh Pada Partai: Rasional Tapi Keliru

Memang, bisa dimengerti jika Julfikri berusaha menjaga relasi baik dengan partainya. Dalam sistem presidensial multipartai seperti Indonesia, politik partai adalah politik survival. Tapi kepatuhan yang membutakan terhadap partai justru menciptakan legislator robotik, yang kehilangan kepekaan terhadap realitas di lapangan.

Rakyat tidak memilih Julfikri untuk menjadi pengikut. Mereka memilihnya untuk menjadi penggerak, pemaksa, bahkan pengacau jika perlu demi mereka yang tidak mampu bicara sendiri di ruang kekuasaan yang sering mengabaikan suara bulat masyarakat kecil.

Terpisah,Noam Chomsky menjelaskan bahwa kekuasaan bekerja dengan cara membentuk opini publik agar menerima ketimpangan sebagai hal yang wajar. Media, institusi politik, dan bahkan para wakil rakyat dapat menjadi bagian dari mesin produksi wacana ini.

Julfikri, secara sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari produksi narasi hegemonik ini. Ia tidak boleh diam ketika masyarakat Hiri keadilannya dibuang pada tong sampah kekuasaan. Ia tidak boleh bungkam saat pembahasan anggaran kembali melupakan pulau. Diamnya legislator adalah bentuk persetujuan terhadap status quo.

Keadilan Tidak Pernah Hadir Jika Tidak Diperjuangkan,Jalan Pulang Masih Terbuka

Masyarakat Pulau Hiri tidak akan mendapat keadilan jika wakilnya hanya menjadi bagian dari perputaran kekuasaan. Keadilan harus diperjuangkan. Dan perjuangan menuntut keberanian, bahkan jika itu berarti menentang struktur partai yang mapan.

Ali bin Abi Thalib ketika dihadapan rakyatnya pernah berkata: “Sesungguhnya aku bukanlah orang yang paling baik di antara kalian, namun aku adalah orang yang paling berat tanggung jawabnya atas kalian.”
Maka pertanyaannya: apakah Julfikri Hasan berada pada jalan kebenaran rakyat, atau jalan aman partai?

Selain itu Julfikri Masih ada waktu untuk mengubah narasi. bisa menjadi contoh baru: legislator yang progresif, kritis terhadap partainya sendiri, dan aktif mendorong kebijakan berbasis realitas lapangan.

Caranya sederhana tapi berdampak:

  • Buat forum bulanan untuk dialog warga Pulau Hiri;
  • Laporkan setiap perkembangan anggaran yang terkait kepulauan;
  • Dorong regulasi khusus tentang alokasi pembangunan kawasan terpencil;
  • Jadikan Pulau Hiri sebagai model keterwakilan kepulauan yang aktif dan dinamis;
  • Dorong konsep pembangunan ke Parlemen soal Dermaga Pulau Hiri yang hingga kini menjadi mimpi buruk saat musim hujan;
  • Air bersih dan jaringan internet di wilayah seperti Fahudu;
  • Transportasi laut yang aman dan terjangkau oleh Guru,Perawat dan pekerja kantoran di kecamatan;
  • Sidak rutin dan dialog terbuka dengan warga, bukan sekadar seremoni seremonial;

Dan Lebih jauh lagi, ia perlu menyusun laporan kinerja terbuka, melibatkan komunitas Pelajar,Mahasiwa dan warga dalam forum diskusi, serta membawa aspirasi Pulau Hiri ke dalam naskah kebijakan konkret. Bukan retorika tetapi dokumen hukum dan anggaran.

Secara teoritik, politik adalah tentang momentum. Dan tidak ada momentum yang lebih kuat daripada saat rakyat mulai kecewa pada keterwakilan mereka di meja parlemen.

Tulisan ini lahir dari keprihatinan, bukan kemarahan. Dari rasa cinta, bukan dendam. Karena terlalu lama Rakyat menunggu wakil kami bersuara. Terlalu lama kami hidup dalam ketimpangan yang dianggap biasa.

Jika Julfikri Hasan tidak mulai sekarang, maka siapa yang bisa menjamin Pulau Hiri akan memiliki suara lima tahun ke depan? Jika diam terus dipelihara, maka yang akan lahir bukan pembangunan, tapi kematian harapan.

kita hanya ingin menegaskan satu hal: wakil rakyat tidak boleh melupakan siapa yang diwakilinya. Partai mungkin memberi posisi, tapi rakyat yang memberi legitimasi. Partai bisa memberi surat rekomendasi, tapi rakyat yang memberikan suara.

Penegasan terbuka,Julfikri Hasan harus memilih: ingin menjadi politisi partai, atau pemimpin rakyat?

Jika ia memilih yang kedua, maka sejarah akan mencatatnya sebagai wakil dari pinggiran yang berani menerobos pusat kekuasaan. Tapi jika ia memilih yang pertama, maka lima tahun ke depan akan berakhir sebagai cerita tentang harapan yang dikhianati.

Rakyat Bukan Sekadar Anak Tangga

Rakyat bukan anak tangga yang diinjak untuk naik ke kursi kekuasaan. Mereka adalah pemilik sah dari mandat politik, dan harus dilayani dengan kejujuran dan keberanian.

Jika Julfikri Hasan lebih takut pada partai dibanding kekecewaan rakyat, maka ia telah salah memilih siapa yang ia layani. Tapi jika ia masih menyadari asal-usul suaranya, maka ia bisa memulai perubahan dari sekarang. Tidak perlu pidato besar. Cukup berani bicara dan bertindak, saat semua orang memilih untuk diam.

Karena ketika seorang wakil lebih patuh pada partai ketimbang rakyatnya, maka demokrasi hanya menjadi ilusi. Dan rakyat, lagi-lagi, menjadi korban dari sistem yang dibungkus janji-janji kosong lima tahun mendatang.

Catatan Penutup:

Tulisan ini adalah seruan lirih dari ujung pulau yang kerap terlewatkan. Dari bibir dermaga yang menua bersama waktu, yang siang dan malam memeluk harap tanpa suara. Dari anak-anak sekolah yang menatap cakrawala, menanti perubahan dari ruang hampa menuju kebajikan, Dari orang tua yang menyeberangi laut dengan perahu tua, menantang ombak demi sesuap harapan.

Mereka tak meminta istana, tak pula menuntut langit. Mereka hanya meminta satu: “perubahan”.perhatian yang tulus. kebijakan yang adil. pemimpin yang benar-benar mendengar sebelum memutuskan.

Perubahan bukanlah soal proyek besar atau pidato panjang. Ia lahir dari kepekaan, dari keberanian untuk melihat luka yang tersembunyi di balik senyum warga. Dari kemauan untuk membangun bukan hanya kota, tapi juga martabat mereka yang tinggal di pinggiran.

Jangan benci masa lalu, sebab di sanalah kita belajar mengenali arah. Sejarah bukan untuk dilupakan, tapi ingat !!..dalam dadah untuk direnungkan, agar kita tak jatuh pada lubang yang sama. Belajarlah dari Ali bin Abi Thalib, yang adil dalam keberanian. Dari Umar bin Khattab, yang mendahulukan perut rakyat daripada istirahatnya sendiri. Mereka tidak sekadar berkuasa mereka hadir.

Dengarlah suara mereka yang tak terdengar di ruang rapat, tapi menggema di balik gelisah malam. Suara dari pulau yang jauh dari sorotan kamera, namun dekat dengan luka bangsa. Dengarlah, sebelum suara itu redup pada ingatan melawan lupa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *