Opini  

Membaca Rabiah Al-Adawiyah Dalam Konteks Perempuan Maluku Utara

Ditulis Oleh: Rosdiana S. Syahman

Mahsiswah Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Unkhair

Dalam sejarah spiritual Islam, nama Rabiah al-Adawiyah senantiasa hadir sebagai simbol cinta ilahiah yang murni dan keteguhan perempuan dalam dunia yang patriarkal. Ia tidak hanya menjadi ikon sufi perempuan, tetapi juga representasi dari kebebasan berpikir, keberanian mencintai Tuhan tanpa pamrih, dan kekuatan eksistensial dalam membebaskan diri dari dominasi duniawi. Kisah Rabiah al-Adawiyah memberi kita cermin untuk merefleksikan posisi perempuan hari ini, termasuk perempuan-perempuan di wilayah pinggiran Nusantara seperti Maluku Utara.

Rabiah lahir dalam kemiskinan, hidup dalam keterasingan, namun menemukan jalan spiritual yang membebaskannya dari batas-batas yang dikenakan oleh masyarakat dan zaman. Ia tidak menikah, tidak tunduk pada norma duniawi, dan menolak cinta manusia jika itu menghalangi cinta total kepada Tuhan. “Jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, bakarlah aku di dalamnya; dan jika aku menyembah-Mu karena ingin surga, haramkanlah surga bagiku.” demikian syair doanya yang terkenal, menggugah jiwa siapa pun yang mendengarnya.

Konteks Perempuan Maluku Utara
Di Maluku Utara, narasi tentang perempuan masih terlalu sering terkungkung dalam sempitnya peran domestik dan beban sosial-kultural yang berat. Perempuan kerap dianggap pelengkap, bukan penggerak. Dalam banyak sektor pendidikan, pemerintahan, ekonomi, bahkan dakwah suara perempuan kurang terdengar, atau kalaupun terdengar, kerap dikesampingkan.

Namun sejarah dan realitas hari ini membuktikan bahwa perempuan Maluku Utara memiliki potensi luar biasa. Dari ibu-ibu nelayan di pesisir Bacan hingga aktivis perempuan di Ternate, dari guru-guru di Halmahera hingga pemimpin komunitas adat di Tidore, perempuan hadir sebagai kekuatan kolektif yang menjaga nilai, menggerakkan komunitas, dan membangun peradaban.

Dalam konteks ini, membaca Rabiah al-Adawiyah bukanlah nostalgia terhadap tokoh masa lalu, tetapi upaya membumikan nilai-nilai spiritual dan keberanian perempuan dalam menghadapi dunia modern yang masih bias gender. Seperti Rabiah yang menolak dikekang oleh cinta dunia, perempuan Maluku Utara harus berani menolak norma yang membungkam potensi mereka baik itu dalam bentuk aturan sosial, diskriminasi pendidikan, maupun kekerasan simbolik dalam budaya patriarki.

Spirit Rabiah dan Emansipasi Kultural
Rabiah mengajarkan bahwa spiritualitas bukanlah pelarian dari dunia, tetapi justru bentuk tertinggi dari keberanian eksistensial. Ia memilih jalan sunyi, namun dari sunyi itu lahirlah revolusi pemikiran. Inilah inspirasi yang relevan bagi perempuan di Maluku Utara yang hidup dalam ketimpangan sumber daya, keterbatasan akses, dan tekanan sosial.

Gerakan perempuan tidak selalu harus tampil dalam wujud aksi jalanan atau forum internasional. Dalam konteks lokal, keberanian perempuan untuk bersuara di ruang keluarga, menjadi guru yang membentuk karakter generasi muda, atau bahkan mempertahankan kearifan lokal adalah bentuk jihad kultural yang bernilai tinggi.

Menjawab Tantangan Zaman. 

Kita sedang hidup di masa yang menuntut rekonstruksi pemikiran. Tradisi dan agama yang diwariskan harus terus-menerus ditafsirkan ulang agar tidak menjadi alat pembungkaman. Figur Rabiah menawarkan satu cara pandang bahwa agama seharusnya membebaskan, bukan membelenggu. Demikian pula posisi perempuan dalam Islam dan budaya lokal. bukan untuk dipinggirkan, tapi diberdayakan.
Perempuan Maluku Utara perlu didorong bukan hanya sebagai objek kebijakan atau pelengkap simbolik dalam pembangunan daerah, tapi sebagai subjek penuh yang mampu memaknai ulang sejarah, memimpin perubahan sosial, dan mewariskan nilai-nilai kemanusiaan.

Akhir Kata, membaca Rabiah al-Adawiyah adalah membaca keberanian perempuan untuk berdiri sendiri di hadapan Tuhan dan dunia. Membaca perempuan Maluku Utara hari ini adalah membaca potensi peradaban yang selama ini tersembunyi. Kita membutuhkan lebih banyak perempuan yang berbicara, menulis, memimpin, dan mencintai kehidupan bukan karena mereka perempuan, tapi karena mereka manusia yang utuh.(****)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *