Berita  

Krisis Di Balik Industrialisasi. UMKM Perikanan Maluku Utara Tertekan Kebijakan Suplai Ikan Di Area Tambang

HALSEL – HabarIndonesia. Di tengah gegap gempita industrialisasi pertambangan di Maluku Utara, muncul potret suram yang luput dari sorotan: UMKM perikanan lokal justru semakin tersisih dari rantai pasok kebutuhan pangan industri.

Ketua DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Maluku Utara, Hamka Karepesina, S.Pi, M.Si, dengan tegas menyatakan bahwa kebijakan dan praktik yang diterapkan oleh pihak industri saat ini telah melumpuhkan sektor perikanan lokal.

Menurut Hamka, Maluku Utara yang memiliki kekayaan laut melimpah seharusnya menjadi pusat distribusi ikan nasional, apalagi untuk kebutuhan konsumsi area industri seperti di kawasan tambang IWIP. Namun, kenyataannya, para nelayan dan UMKM lokal kini terseok akibat ketimpangan harga dan minimnya akses pasar.

“Penyebab utamanya adalah disparitas harga yang ditetapkan oleh PT Cahaya Pangan Makmur (CPM). Harga beli mereka terhadap ikan lokal sangat rendah, bahkan tidak menutupi biaya produksi. Ini jelas membunuh UMKM kita secara perlahan,” tegas Hamka.

Praktik yang dilakukan PT CPM dinilai sangat merugikan. Banyak hasil tangkapan nelayan tidak terserap karena negosiasi harga antara pihak CPM dan UMKM lokal selalu menemui jalan buntu.

Parahnya, Hamka mengungkap adanya indikasi bahwa kebutuhan ikan industri justru dipasok dari luar daerah, seperti dari Pulau Jawa.

“Kebutuhan meningkat, tapi yang menikmati bukan kita. Pasar lokal digerus, nelayan kita hanya jadi penonton,” kecam Hamka yang juga menjabat sebagai Direktur NetraNusa.

Ia mempertanyakan peran otoritas daerah dan regulasi karantina yang seolah membiarkan ikan-ikan dari luar masuk begitu saja melalui pelabuhan IWIP.

Hamka menyebut bahwa kebutuhan konsumsi ikan di kawasan industri IWIP mencapai 500–700 ton per bulan. Jumlah ini seharusnya bisa dengan mudah dipenuhi oleh nelayan Maluku Utara jika diberikan kesempatan dan dukungan yang adil.

Namun fakta di lapangan menunjukkan dominasi pasokan dari luar daerah terus berlangsung tanpa perimbangan kebijakan.

Dalam konteks ini, Hamka mendorong Gubernur Maluku Utara, Sherly Laos, dan Wakil Gubernur Sarbin Sehe untuk segera bertindak. Dengan konektivitas kuat ke pemerintah pusat, khususnya era Prabowo-Gibran yang mengutamakan hilirisasi nasional, kepemimpinan daerah seharusnya mampu mengadvokasi nasib UMKM perikanan lokal.

“Gubernur harus dorong regulasi harga ikan yang adil, fasilitasi pelatihan dan akses teknologi. Jangan biarkan nelayan kita terus jadi korban sistem industri yang tak berpihak,” kata Hamka.

Saat ini, koperasi nelayan dan UMKM perikanan lokal bahkan mengalami stagnasi distribusi hingga tiga bulan terakhir karena harga beli dari PT CPM yang dianggap tak manusiawi. Banyak nelayan terpaksa melepas hasil tangkapan mereka ke pasar lokal dengan harga rendah demi bertahan hidup.

“Kami butuh dialog terbuka. CPM tidak bisa terus memaksakan harga. Pemerintah juga tidak boleh hanya jadi penonton. Harus aktif menjembatani agar lahir sistem kerjasama yang adil dan berkelanjutan,” ucap Hamka dengan nada kecewa.

Menurutnya, jika pemerintah tidak segera bertindak, Maluku Utara akan kehilangan salah satu potensi unggulan ekonominya. Laut yang selama ini menopang hidup masyarakat pesisir justru akan menjadi sumber penderitaan akibat ketimpangan kebijakan industrialisasi.

Dengan strategi pembangunan yang inklusif, Hamka yakin UMKM perikanan Maluku Utara bisa menjadi tulang punggung pangan kawasan industri.

Namun semua itu hanya bisa tercapai jika pemerintah benar-benar berdiri di sisi rakyat, bukan di belakang para sub-kontraktor yang mengabaikan keadilan ekonomi.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *