Opini  

Kematian Subjek Dalam Politik. Zizek Memotret Indonesia

Penulis: Ucok S. Dola

Pemuda Desa Tauro dan Eks Sekertaris Jenderal Samurai-MU

Diskursus Filsafat Politik di Era Mutakhir saat ini sangat relevan dengan kondisi Negara Indonesia. Spesifiknya berhubungan dengan Subjek dalam Politik. Umumnya, Subjek dan Objek telah membentuk kerangka berpikir manusia untuk menentukan kebenaran berdasarkan cara pandang masing-masing, secara subjektif ataupun objektif. Namun disini penulis tidak akan membahas kebenaran dari cara pandang tersebut, melainkan mengungkap Kematian sang Subjek (manusia/individu) dalam dinamika politik kontemporer Indonesia.

Alih-alih, mengenal subjek merupakan dasar untuk memahami kebebasan yang utuh dalam diri manusia. Tentu saja wacana ini dapat di temukan dalam bahasan Eksistensialisme tentang kebebasan yang utuh dari setiap individu dalam kehidupan sehari-hari kaitannya dengan segala aspek. Akan tetapi, penulis merasa harus ada pembatas dalam isi tulisan ini agar tidak melebar dan kesasar sehingga penulis tidak akan membahas Eksistensialisme lebih dalam.

Zizek, Seorang Filsuf Slovania yang memperkenalkan Konsep tentang Subjek Radikal sebagai tindakan Subjek saat mengalami kekosongan. Dengan demikian, sang Subjek akan bertindak dengan bebas tanpa harus terpengaruhi oleh sesuatu dari luar, baik norma ataupun hal lain. Sedari awal, Zizek terpengaruh oleh Jacques Lacan seorang Filsuf asal Prancis sekaligus Psikoanalisis. Lacan dengan teori cerminannya menerangkan ada tiga fase, imaginer, simbolik dan rell.

Tentunya, dari tiga fase tersebut menerangkan dengan jelas yang pertama; the rell adalah tataran yang belum di pengaruhi oleh bahasa. Lacan menyebutnya kondisi kepenuhan atau keutuhan, di mana seorang anak belum bisa membedakan dirinya dengan yang lain (liyan). Kedua; the imaginer atau face cermin (mirror stage) dimana ego terbentuk. Pada fase ini, kebutuhan akan berpindah dari primer ke tuntutan. Kebutuhan akan mampu terpenuhi namun tuntutan tidak pernah tercukupi sehingga manusia akan bergerak ke kondisi kekosongan. Ego senantiasa mengalami keretakan dalam dirinya dan citra mengenai dirinya sehingga ada upaya untuk kembali mengumpulkan kepingan-kepingan ego yang retak untuk utuh kembali.

Ketiga; the simbolik, merupakan fase dimana subjek terbentuk melalui sejumlah identitas yang melekat pada dirinya. Ranah ini berkaitan dengan Hasrat (Desiree), dengan berpindahnya subjek dari tataran imaginer ke simbolik, subjek berada dalam kondisi terbelah dimana subjek selalu berusaha untuk memenuhi panggilan orang lain ‘ the other ‘. Subjek akan selalu bergerak memenuhi hasrat, namun hasrat subjek adalah hasrat sang Lain. Karenanya, subjek mengalami kekosongan, dan the other hadir untuk memenuhi kekosongannya. Pada tahap ini bagi Zizek, Hanya subjek Radikal semata yang mampu bertindak menuju pada pemenuhan atau keutuhan untuk menjadi The rell tanpa terpengaruh oleh ideologi atau norma apapun.

Situasi Politik dan Munculnya Sang Subjek

Indonesia merupakan salah satu negara dengan sejarah panjang peperangan Dunia I dan II. Selain itu, dalam konstalasi politik pada masa orde lama dan orde baru cukup tragis kondisi yang di alami oleh masyarakat akibat sistem yang di terapkan negara. Orde lama yang dipimpin oleh Soekarno pada masa transisi kepemimpinan telah terjadi sebuah gerakan masa yang tergabung dalam Fron KAMI. Tentu, gerakan imelatarbelakangi kondisi ekonomi dan politik negara Indonesia. Sampai pada puncaknya, Soekarno akhirnya cuti permanen sebagai kepala negara, dan digantikan oleh Soeharto. Beberapa agen muncul ke permukaan sebagai subjek radikal, dan bertindak menuju kebebasan atas kondisi yang dialaminya. Para agen itu beberapa diantaranya adalah Kosmos Batubara, Soe Hoek Gie dan Akbar Tanjung yang sering muncul sebagai agen atau aktor penggerak.

Hal serupa juga dipraktikkan pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Secara umum, ia di kenal sebagai pemimpin yang otoriter. Dengan model kepemimpinan yang demikian , ia berkuasa selama 32 Tahun dan berhasil mencetak rekor dalam sejarah bangsa tentang gugurnya mahasiswa dan pemuda dalam perjuangan menyongsong Reformasi. Peristiwa ini, memberi gambaran bagaimana sang agen (subjek radikal) secara nyata bertindak. Bisa dilihat dalam literatur sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia dan hal itu adalah wujud dari tindakan subjek di bawah tekanan orde baru yang bermodalkan Kekuatan Militernya. Di sisi lain, ketika peralihan kepemimpinan di tandai dengan Era Reformasi, kemunculan para agen dari setiap daerah di Indonesia semakin banyak, khususnya agen yang ada di kampus-kampus di seluruh Indonesia.

Totalitarianisme dan Kematian Sang Subjek

Gaya Politik Kontemporer Indonesia sangat berbeda dengan politik pada masa orde lama dan orde baru. Secara universal, politik cenderung di alamatkan pada kekuasaan dan itu benar adanya. Politik elektoral di masa pemerintahan Prabowo Subianto ibarat mata pisau yang terbalik, bagian yang tumpul selalu di tampilkan untuk memotong perlahan-lahan, agar tidak di perhatikan dengan baik di mata publik.

Bisa dikatakan bahwa gaya Politik Pemerintahan saat ini sebenarnya menerapkan ‘The New Of Totalitarianisme’, ia tidak hanya menggunakan Kekuatan Militer semata sebagaimana yang di lakukan Soeharto, melainkan beberapa aspek penting telah diramu dengan baik sebagai alat politik-nya.

Totalitarianisme sendiri memiliki 3 tahap sebagaimana Tsao (Rahmawati & Sulistyowati : 2022, hal. 151) yang pertama adalah pra kekuasaan, sementara kedua adalah konsolidasi dan praktik kekuasaan negara, dan yang terakhir dominasi secara total. Tiga tahap ini mulai dari pra kekuasaan sampai pada dominasi secara total hampir di miliki oleh Pemerintahan saat ini. Bermula dari Fenomena Cekcok di masa Pencalonan bakal Calon Presiden dan Wakil Presiden, Hingga pada revisi ugal-ugalan UU yang menuai kontroversi, yang mengakibatkan bayang-bayang bagi masyarakat untuk pindah ke negara lain.

Alhasil, uraian singkat di atas menunjukan bahwa ada perbedaan signifikan yang terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru, kemudian Reformasi, namun fenomena-fenomena itu hilang ditelan model dinamika politik saat ini. Sang Subjek di mabukan oleh kondisi, Iming-iming masa depan yang baik oleh negara disematkan pada status sosial yang terpandang, membuat subjek tak lagi bebas bertindak sebagai agen perubahan laiknya tindakan subjek radikal pada dekade pemerintahan yang lalu. Subjek dibuat tak berdaya walaupun sadar akan situasi yang di alaminya, namun kecemasan akan apa yang disematkan oleh negara tadi menjadi bumerang bagi tindakan subjek, alhasil, kematian subjek adalah kepastian. (***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *