SULA – HabarIndonesia. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) Maluku Utara secara tegas mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara untuk segera menuntaskan penyelidikan dugaan kasus korupsi proyek normalisasi kali yang tersebar di Pulau Sulabesi dan Pulau Mangoli, Kabupaten Kepulauan Sula.
Proyek dengan total nilai kontrak mencapai Rp7.093.852.483,61 itu diduga sarat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari tahun anggaran 2023 hingga 2025.
Ketua DPD GPM Maluku Utara, Sartono, menyebut bahwa kasus ini sudah berulang kali dilaporkan ke Kejati namun hingga kini belum ada perkembangan yang signifikan.
“Kami sudah sampaikan berkali-kali, tetapi belum ada tindakan konkret. Ini menandakan lemahnya komitmen Kejati dalam memberantas korupsi di daerah,” ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (14/08).
Sartono mengungkapkan, hasil investigasi lapangan mereka menunjukkan adanya kejanggalan dalam pelaksanaan proyek. Pada tahun 2023 tercatat ada 9 paket proyek senilai Rp1,6 miliar lebih, diikuti oleh 20 paket senilai hampir Rp4 miliar pada 2024, dan 7 paket senilai sekitar Rp1,3 miliar di 2025. Sebagian besar proyek itu diduga fiktif atau tidak sesuai realisasi di lapangan.
Menurut Sartono, sejumlah perusahaan pelaksana proyek diketahui mengerjakan lebih dari dua lokasi yang secara geografis berjauhan dalam waktu bersamaan, hal yang dinilai mustahil secara teknis.
“Bagaimana mungkin satu perusahaan bisa kerjakan proyek di dua pulau sekaligus dalam waktu bersamaan? Ini akal-akalan,” tegasnya.
Lebih lanjut, GPM mendesak Kejati Maluku Utara segera memanggil dan memeriksa Kepala Dinas PUPR Kepulauan Sula Jaunidin Umaternate yang juga bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Selain itu, Sartono juga menyoroti dugaan keterlibatan adik Kadis, Sabarun Umaternate, serta staf honorer bernama Melly.
Tak hanya itu, Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sula, Muhlis Soamole, turut disebut dalam laporan GPM. Ia diduga menerima aliran dana dari proyek fiktif tersebut. GPM menyatakan bahwa nama-nama ini harus segera diperiksa karena diduga kuat mengetahui bahkan terlibat langsung dalam pengaturan proyek.
Sartono juga mendesak agar para direktur perusahaan yang mengerjakan proyek diperiksa. Di antaranya adalah Cahaya Alvira, Awdi Pratama, Ainur, Thita Mulia, Bintang Barat Perkasa, Permata Membangun, Permata Hijau, Permata Bersama, dan Nuril Jaya. Sartono menegaskan pentingnya verifikasi dokumen pekerjaan serta investigasi lapangan langsung.
“Penegak hukum harus turun ke lapangan, minta dokumen dan klarifikasi langsung dari masyarakat. Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi indikasi kejahatan terorganisir yang merugikan negara dan rakyat,” tegas Sartono.
Ia juga mengutip sejumlah regulasi yang diduga dilanggar, seperti UU Tipikor, KUHP, UU Keuangan Negara, dan UU Perbendaharaan Negara.
Sartono menutup pernyataannya dengan komitmen untuk terus mengawal kasus ini. Mereka menegaskan akan melakukan aksi lanjutan jika Kejati dan Polda Maluku Utara tidak menunjukkan progres hukum yang nyata.
“Kami tidak akan berhenti sampai aktor-aktor korup ini ditindak tegas. Rakyat Sula berhak atas keadilan,” pungkas Sartono.
(Harisa)