Oleh: Abdul Muarif Korois, SH.
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia)
Novel Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky menyingkap kejahatan dan hukuman bukan hanya sebagai perkara yuridis, melainkan sebagai drama batin manusia yang penuh kontradiksi. Kisah ini berpusat pada Rodion Raskolnikov, seorang mahasiswa miskin di St. Petersburg, yang dilanda krisis eksistensial. Kecerdasan intelektualnya berpadu dengan keputusasaan hidup membuat ia merumuskan teori bahwa manusia terbagi dua yaitu: manusia biasa yang terikat pada hukum, dan manusia luar biasa yang berhak melampaui hukum demi tujuan yang lebih besar. Dengan teori itu, ia merasa dapat membenarkan pembunuhan terhadap Alyona Ivanovna, seorang rentenir tua yang dianggapnya tidak berguna bagi masyarakat.
Namun, ketika rencana itu dijalankan, realitas ternyata jauh lebih kejam. Raskolnikov mengayunkan kapak dan membunuh Alyona, tetapi tanpa sengaja juga menghabisi nyawa Lizaveta, adik Alyona, yang polos dan tidak bersalah. Saat itulah retak semua rasionalisasi yang dibangunnya. Alih-alih membuktikan dirinya sebagai manusia luar biasa, ia justru masuk ke dalam jurang ketakutan, kecurigaan, dan penderitaan batin yang tiada akhir. Kejahatan yang ia bayangkan sebagai “pembebasan” berubah menjadi rantai yang membelenggunya lebih keras daripada borgol polisi.
Sejak itu, rasa bersalah terus menghantui. Ketika polisi mengundangnya ke kantor hanya untuk berbincang ringan, tubuhnya gemetar hebat. Dalam satu adegan, seorang penyidik berkata sambil bercanda, “Seandainya pelaku pembunuhan itu masih berkeliaran, apa yang dia rasakan sekarang?” Raskolnikov mencoba menjawab dengan tenang, tetapi suaranya bergetar. Setelah itu, ia jatuh sakit berhari-hari. Inilah gambaran bahwa hukuman moral sudah bekerja lebih dulu sebelum hakim negara menjatuhkan vonis. Dostoevsky memperlihatkan bahwa nurani manusia adalah hakim yang paling tajam.
Pertemuannya dengan Sonia Marmeladov menjadi titik balik. Sonia adalah perempuan muda yang hidup dalam kemiskinan, rela menjual dirinya demi menyelamatkan keluarga. Dalam dirinya terdapat paradoks, penderitaan yang besar tetapi juga iman yang teguh. Saat Raskolnikov mengaku kepadanya bahwa ia adalah pembunuh Alyona dan Lizaveta, Sonia menangis terisak, tetapi ia tidak pernah melemparkan penghakiman. Sebaliknya, ia berkata dengan lembut, “Engkau harus mengaku, Rodion. Pergilah ke alun-alun, sujudlah di tanah, dan katakan kepada dunia: aku telah membunuh.” Ucapan Sonia adalah ajakan untuk berdamai dengan nurani, bukan sekadar menyerahkan diri pada aparat.
Dalam momen penuh makna lainnya, Sonia mengambil Injil dan membacakan kisah kebangkitan Lazarus. Raskolnikov mendengarkannya dalam keheningan penuh pergulatan. Kata demi kata dari kisah Lazarus menjadi simbol bahwa manusia yang sudah “mati” dalam dosa masih bisa dibangkitkan melalui pengakuan dan pertobatan. Percakapan itu menegaskan bahwa hukuman sejati tidak hanya berupa pembuangan ke Siberia, tetapi juga kelahiran kembali batin melalui kesadaran moral.
Ketegangan semakin meningkat ketika Raskolnikov berhadapan dengan Porfiry Petrovich, sang penyidik cerdas. Dalam percakapan mereka, Porfiry tidak pernah menuduh secara langsung, tetapi selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan psikologis yang menusuk. Ia berkata, “Saya kira, pelaku kejahatan bukan hanya harus dihukum oleh pengadilan, tetapi lebih dulu oleh dirinya sendiri. Bukankah begitu?” Kalimat itu membuat Raskolnikov semakin tersudut, seolah-olah Porfiry membaca isi hatinya. Dialog-dialog ini memperlihatkan bahwa kejahatan tidak bisa ditutupi; kebenaran selalu mencari jalan untuk terungkap.
Akhirnya, Raskolnikov menyerahkan diri kepada polisi. Ia dijatuhi hukuman kerja paksa di Siberia. Secara formal, negara telah menjalankan fungsinya; menegakkan hukum, memberikan sanksi, dan memulihkan keteraturan. Namun Dostoevsky menekankan bahwa vonis pengadilan hanyalah permukaan. Hukuman sejati adalah keberanian untuk mengakui kesalahan, menjalani penderitaan batin, dan perlahan menemukan arti pengampunan. Di pengasingan Siberia, ditemani oleh kesetiaan Sonia, Raskolnikov mulai memahami arti kehidupan kembali. Proses ini bukan sekadar menjalani pidana, melainkan perjalanan spiritual untuk menemukan kembali kemanusiaannya.
Dari kisah ini, kita belajar bahwa kejahatan bukan hanya lahir dari niat jahat murni, melainkan juga dari tekanan sosial, kemiskinan, dan ideologi yang menyimpang. Raskolnikov tidak sepenuhnya digerakkan oleh kebencian, melainkan oleh rasa putus asa yang dibungkus teori intelektual. Namun Dostoevsky menegaskan bahwa betapapun alasan di balik kejahatan, pelaku tidak bisa lari dari konsekuensi moral. Kejahatan selalu menghadirkan dua bentuk hukuman yaitu hukuman negara yang bersifat legal-formal, dan hukuman batin yang jauh lebih berat karena berasal dari nurani. Crime and Punishment menjadi kritik tajam terhadap pandangan hukum yang hanya bersifat legalistik.
Hukuman pidana memang perlu untuk menjaga keteraturan sosial, tetapi keadilan sejati baru hadir ketika hukum positif bersentuhan dengan kesadaran moral. Novel ini menekankan bahwa manusia yang melakukan kejahatan harus melalui proses pertobatan, pengakuan, dan rekonsiliasi batin agar hukuman tidak berhenti sebagai formalitas. Dostoevsky dengan jenius menunjukkan bahwa hukum negara saja tidak cukup; hanya perpaduan antara hukum positif dan hukum nurani yang mampu mengembalikan martabat manusia. (***)