Opini  

PTDH Kompol Kosmas: Tepat, Tapi Belum Cukup

Oleh: Abdul Muarif Korois

(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia)

 

Kasus meninggalnya Affan Kurniawan, seorang driver ojek online yang terlindas kendaraan taktis (rantis) Brimob dalam aksi demonstrasi, telah memicu perhatian luas masyarakat. Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan lalu lintas biasa, melainkan terjadi dalam konteks penggunaan kekuatan negara ketika aparat keamanan berhadapan dengan warga sipil yang sedang menyuarakan pendapat di muka umum. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan mendasar mengenai sejauh mana aparat negara, khususnya kepolisian, mempertanggungjawabkan tindakannya ketika penggunaan kekuatan berujung pada hilangnya nyawa warga negara.

Kompol Kosmas K. Gae, selaku komandan sekaligus penumpang rantis tersebut, dalam proses etik internal Polri dinyatakan melakukan perbuatan tercela dan dijatuhi sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) oleh Komisi Kode Etik Polri. Dari perspektif kelembagaan, putusan ini dipandang sebagai langkah tegas Polri untuk menjaga marwah institusi, sekaligus sebagai sinyal bahwa pelanggaran berat tidak akan ditoleransi.

Pertanyaannya adalah apakah sanksi etik sudah cukup memenuhi prinsip keadilan, ataukah harus dilanjutkan ke ranah hukum pidana? Pertanyaan ini menjadi penting karena hilangnya nyawa seseorang tidak hanya menyinggung persoalan disiplin internal, tetapi juga menyangkut hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum pidana nasional. Dengan kata lain, persoalan ini bukan semata-mata urusan internal kepolisian, melainkan menyangkut relasi antara negara dan warga negara dalam kerangka rule of law.

Pada dataran dimensi etik, polri sebagai institusi penegak hukum memiliki mekanisme internal untuk menjaga integritas, kedisiplinan, dan profesionalisme anggotanya. Mekanisme tersebut diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Polri dan Komisi Kode Etik Polri, yang menjadi dasar hukum bagi penjatuhan sanksi etik, termasuk bentuk paling berat yaitu Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH). Peraturan ini pada dasarnya merupakan instrumen administratif yang mengatur hubungan kepegawaian dan perilaku profesi, sehingga berfungsi menjaga kehormatan serta wibawa institusi di mata publik.

Dalam literatur hukum administrasi, sanksi etik semacam ini dipandang sebagai bagian dari disciplinary power atau kekuasaan disipliner yang melekat pada setiap organisasi publik (Ridwan HR, “Hukum Administrasi Negara”, 2018). Artinya, PTDH bukanlah instrumen yang dimaksudkan untuk menegakkan keadilan pidana, melainkan instrumen untuk menegakkan disiplin, mengoreksi perilaku, dan memastikan bahwa anggota organisasi yang telah melakukan pelanggaran berat tidak lagi menjadi bagian dari institusi. Dengan kata lain, PTDH hanya mengikat hubungan hukum publik antara anggota dengan organisasi kepolisian, tanpa menghapus atau menggantikan potensi tanggung jawab hukum pidana yang bersifat pribadi.

Perlu digarisbawahi bahwa sanksi etik semacam PTDH memiliki karakteristik preventif sekaligus represif. Ia bersifat preventif karena mengirimkan pesan ke dalam tubuh Polri bahwa perilaku menyimpang yang mencoreng institusi akan berakibat fatal pada karier anggota. Ia juga bersifat represif karena secara nyata memutus hubungan kedinasan dan hak-hak kepegawaian seseorang. Namun, efektivitas sanksi ini terbatas hanya pada aspek kelembagaan. Sanksi etik tidak memiliki kapasitas untuk menjawab pertanyaan keadilan substantif, khususnya ketika terjadi peristiwa yang menimbulkan korban jiwa atau kerugian yang nyata bagi masyarakat.

Dari sudut pandang teori hukum, perbedaan antara sanksi etik dan sanksi pidana mencerminkan perbedaan rezim hukum; pertama merupakan bagian dari hukum administrasi, sedangkan yang kedua merupakan bagian dari hukum pidana. Asas lex specialis derogat legi generali tidak berlaku di sini karena kedua rezim hukum ini berdiri secara otonom dan melindungi kepentingan yang berbeda. Sanksi etik bertujuan melindungi integritas organisasi, sementara sanksi pidana bertujuan menegakkan keadilan publik dan memberikan kepastian hukum bagi korban maupun masyarakat luas.

Konstitusi Republik Indonesia secara tegas menempatkan hak untuk hidup sebagai salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Norma ini menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban konstitusional untuk melindungi setiap warga negaranya dari perampasan nyawa yang sewenang-wenang, baik oleh individu maupun oleh aparat negara. Dalam kerangka ini, peristiwa meninggalnya Affan Kurniawan akibat terlindas kendaraan taktis Brimob tidak dapat dipandang hanya sebagai pelanggaran etik, melainkan harus ditarik ke ranah hukum pidana sebagai bentuk pertanggungjawaban atas hilangnya nyawa seorang warga negara.

Hukum pidana Indonesia telah menyediakan perangkat normatif untuk menilai perbuatan yang menyebabkan kematian. Pasal 338 KUHP menyatakan: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Sementara itu, jika tidak ditemukan unsur kesengajaan, Pasal 359 KUHP mengatur bahwa: “Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.” Dengan demikian, hukum pidana membedakan antara pembunuhan yang dilakukan secara sengaja (dolus) dan perbuatan yang menyebabkan kematian karena kelalaian atau kurang hati-hati (culpa).

Pertanyaan kunci dalam kasus Kompol Kosmas terletak pada dimensi mens rea (unsur kesalahan batin atau niat) dan actus reus (perbuatan nyata). Apakah kematian Affan merupakan akibat langsung dari perintah, pengabaian, atau tindakan yang dapat dikategorikan sebagai kesengajaan, ataukah ia lebih tepat ditempatkan dalam kategori kelalaian yang patut dipidana? Jawaban atas pertanyaan ini tidak dapat diberikan dalam forum etik semata, karena mekanisme etik hanya memeriksa kesesuaian perilaku dengan norma internal profesi, bukan menilai unsur pidana secara komprehensif. Untuk itu, hanya peradilan pidana dengan prinsip pembuktian di muka umum yang dapat menentukan kadar pertanggungjawaban hukum dari Kompol Kosmas.

Selain KUHP, dimensi pidana kasus ini juga dapat dikaitkan dengan norma hukum lain yang lebih luas. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 7 ayat (1) menegaskan kewajiban negara, termasuk aparat penegak hukum, untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan hak asasi manusia. Dengan adanya korban jiwa, negara memiliki kewajiban positif untuk melakukan investigasi yang efektif, transparan, dan akuntabel. Di tingkat internasional, prinsip serupa ditegaskan dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, di mana hak untuk hidup (Pasal 6 ICCPR) diakui sebagai non-derogable rights. Hal ini menempatkan negara pada posisi wajib bertanggung jawab secara hukum atas setiap kehilangan nyawa yang terjadi akibat tindakan aparatnya.

Lebih jauh, hukum pidana mengenal prinsip individual criminal responsibility yang menyatakan bahwa setiap orang, termasuk aparat penegak hukum, dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara pribadi atas perbuatannya yang melanggar hukum. Tidak ada jabatan atau pangkat yang dapat menjadi alasan peniadaan pertanggungjawaban pidana. Doktrin ini sejalan dengan prinsip negara hukum (rule of law) yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Oleh sebab itu, proses pidana terhadap Kompol Kosmas bukan hanya soal menegakkan hukum bagi individu, melainkan juga soal menjaga integritas prinsip negara hukum itu sendiri.

Namun sering ada salah satu alasan yang kerap muncul untuk tidak melanjutkan kasus etik ke ranah pidana adalah dalih bahwa pelaku telah dijatuhi hukuman melalui mekanisme internal. Dalih ini biasanya dikaitkan dengan asas “non bis in idem”, yaitu asas hukum pidana yang melarang seseorang untuk diadili atau dihukum dua kali atas perbuatan yang sama. Akan tetapi, secara normatif, asas tersebut tidak dapat diberlakukan dalam konteks hubungan antara sanksi etik dan sanksi pidana. Hal ini disebabkan karena keduanya berada dalam rezim hukum yang berbeda, dengan tujuan, mekanisme, dan kepentingan hukum yang tidak sama.

Dalam doktrin hukum pidana, asas “non bis in idem” hanya berlaku ketika seseorang telah dijatuhi putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) atas suatu perbuatan, sehingga ia tidak boleh lagi diproses pidana untuk perbuatan yang identik. Namun, sanksi etik atau administratif bukanlah putusan pidana, melainkan bagian dari hukum administrasi negara yang bertujuan menjaga disiplin, integritas, dan kehormatan organisasi. Dengan demikian, menjatuhkan sanksi etik kepada seorang anggota Polri tidak serta-merta menutup kemungkinan untuk menuntutnya secara pidana apabila perbuatannya memenuhi unsur delik yang diatur dalam KUHP atau undang-undang lain.

Konstruksi ini juga ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011, yang menyatakan bahwa proses etik dan proses pidana dapat berjalan paralel karena melindungi kepentingan yang berbeda. Putusan ini menjadi rujukan penting karena memberikan kepastian bahwa tidak ada pelanggaran asas “non bis in idem” ketika seseorang dikenai sanksi etik sekaligus diproses pidana. Dengan kata lain, putusan MK menegaskan prinsip bahwa disciplinary liability (pertanggungjawaban etik) tidak menghapus criminal liability (pertanggungjawaban pidana).

Lebih jauh, independensi proses pidana dalam kasus ini juga merupakan keharusan. Pasal 7 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mewajibkan aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi HAM dalam setiap pelaksanaan tugasnya. Kewajiban ini mencakup tanggung jawab negara untuk melakukan investigasi yang menyeluruh, independen, dan efektif ketika terjadi pelanggaran HAM, khususnya yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Prinsip ini sejalan dengan standar internasional, antara lain Minnesota Protocol on the Investigation of Potentially Unlawful Death (2016), yang mengatur bahwa setiap kematian yang diduga melibatkan aparat negara harus diinvestigasi secara independen guna memastikan akuntabilitas.

Jika proses pidana tidak dilakukan, sementara sanksi berhenti di ranah etik internal, maka negara akan dianggap gagal memenuhi kewajiban positifnya untuk melindungi hak hidup warga negara. Lebih parah lagi, hal ini dapat memunculkan kesan impunitas, yaitu keadaan ketika pelaku pelanggaran HAM terbebas dari tanggung jawab pidana. Impunitas merupakan ancaman serius terhadap legitimasi negara hukum, karena menimbulkan persepsi bahwa hukum berlaku secara diskriminatif; tegas kepada rakyat biasa, tetapi lunak kepada aparat negara. Karena itu, independensi proses hukum sangat krusial. Penyelidikan dan penuntutan pidana harus dilakukan secara objektif, tanpa campur tangan hierarki internal yang dapat memengaruhi hasilnya. Prinsip ini juga sesuai dengan gagasan Satjipto Rahardjo dalam konsep hukum progresif, yakni hukum tidak boleh berhenti pada teks formal semata, tetapi harus digunakan sebagai sarana untuk menghadirkan keadilan substantif bagi masyarakat.

Pengalaman penegakan hukum di Indonesia menunjukkan mekanisme etik di kepolisian kerap berhenti sebagai “panggung internal” yang tertutup, tanpa kelanjutan pidana yang seharusnya. Akibatnya, penegakan hukum lebih terlihat menjaga citra institusi ketimbang menghadirkan keadilan. Padahal, keadilan substantif hanya dapat dipulihkan melalui peradilan terbuka yang transparan dan dapat diawasi publik. Jimly Asshiddiqie (“Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”, 2005) menegaskan bahwa negara hukum ditandai bukan hanya oleh aturan, tetapi juga keterbukaan dan akuntabilitas kekuasaan. Dalam kasus Kompol Kosmas, jika proses berhenti pada PTDH, publik akan menilai hukum sebatas formalitas administratif. Transparansi dalam peradilan pidana menjadi syarat agar kasus ini benar-benar memberi efek jera dan keadilan bagi korban serta keluarganya.

Keterbukaan proses juga penting untuk mencegah lahirnya praktik impunitas. Impunitas, sebagaimana dikritisi oleh David Dyzenhaus dalam “The Constitution of Law” (2006), adalah kondisi ketika pelaku pelanggaran hukum, khususnya aparat negara, terbebas dari tanggung jawab pidana dengan alasan formalitas atau mekanisme internal. Jika hal ini terjadi, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum, dan hal tersebut berbahaya karena dapat menurunkan legitimasi sosial negara. Akuntabilitas publik yang nyata hanya dapat dicapai ketika proses hukum berlangsung secara terbuka, sehingga masyarakat dapat mengawasi jalannya persidangan, menilai alat bukti yang diajukan, dan melihat langsung bagaimana hakim memutuskan perkara.

Dalam literatur hukum progresif, Satjipto Rahardjo (Hukum Progresif: “Hukum yang Membebaskan”, 2009) menekankan bahwa hukum harus berorientasi pada keadilan substantif, bukan sekadar keadilan prosedural. Jika kasus Kompol Kosmas berhenti pada PTDH, maka hukum hanya dijalankan secara prosedural sekadar menuntaskan kewajiban administratif tanpa memberikan pemulihan nyata bagi korban dan keluarganya. Transparansi dalam peradilan pidana menjadi cara untuk mengubah hukum dari sekadar formalitas menjadi instrumen yang benar-benar membebaskan dan memulihkan. Lebih dari itu, akuntabilitas publik juga penting untuk membangun efek jera institusional. Dalam konteks aparat kepolisian, setiap kasus pelanggaran yang diproses secara pidana di pengadilan terbuka akan menjadi preseden dan peringatan keras bagi anggota lainnya bahwa penyalahgunaan kekuasaan tidak akan dilindungi institusi. Hal ini bukan saja berfungsi sebagai mekanisme penegakan hukum, tetapi juga sebagai sarana pendidikan hukum (legal education) bagi institusi kepolisian dan masyarakat luas.

Maka kesimpulannya adalah sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) terhadap Kompol Kosmas memang sudah tepat, namun belum cukup. PTDH hanya menyelesaikan dimensi etik internal, tetapi tidak menjawab kewajiban negara untuk menegakkan hukum pidana atas hilangnya nyawa seorang warga negara. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, dan negara wajib menjamin perlindungan, penghormatan, serta penegakannya. Oleh karena itu, langkah yang paling konstitusional, legal, dan adil adalah melanjutkan kasus ini ke ranah pidana.

Proses pidana yang independen, transparan, dan akuntabel akan memastikan bahwa keadilan substantif benar-benar ditegakkan. Ia tidak hanya penting bagi keluarga korban, tetapi juga bagi masyarakat luas yang menaruh harapan pada tegaknya hukum di negeri ini. Dengan demikian, negara dapat membuktikan bahwa prinsip rule of law bukan sekadar jargon, melainkan realitas yang dihidupi dalam setiap kasus, bahkan ketika pelakunya adalah aparat penegak hukum itu sendiri.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *