JAKARTA – HabarIndonesia. Sejumlah elemen masyarakat menyampaikan pengaduan resmi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam belanja perjalanan dinas pada empat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara.
Pengaduan tersebut disampaikan kepada aparat penegak hukum dengan dugaan bahwa realisasi anggaran dinas tidak sesuai ketentuan hukum dan terjadi penyimpangan signifikan.
Dalam dokumen pengaduan yang diterima redaksi, disebutkan bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dalam pertanggungjawaban perjalanan dinas, seperti penggunaan kwitansi fiktif, mark-up biaya akomodasi dan transportasi, serta laporan kegiatan yang diduga tidak pernah dilaksanakan alias fiktif.
“Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi sudah masuk kategori perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan daerah,” ujar Ramadhan Reubun, sebagai pelapor saat dihubungi oleh media HabarIndonesia.id melalui Whatsapp, jumat 22/08/25.
Lanjutnya, Keempat SKPD yang dilaporkan belum disebutkan secara rinci dalam pengaduan publik, namun masyarakat mendesak agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Inspektorat Daerah, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan audit dan penyelidikan menyeluruh termaksud kepada Mantan Kepala BPKAD.
“Suryani Antarani tidak bisa dilepaskan dari skandal ini. Sebagai mantan Kepala BPKAD, ia harus bertanggung jawab atas belanja fiktif yang merugikan keuangan negara. Kami mendesak Kejati, Kejagung, dan KPK untuk segera menindaklanjuti kasus ini hingga tuntas,” Ucapnya
Ia juga mengatakan, Dugaan kerugian negara diperkirakan mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah dari akumulasi beberapa kegiatan dalam tahun anggaran 2023–2024.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, setiap penggunaan APBD wajib dikelola secara tertib, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun dalam praktiknya, laporan yang diterima menyebutkan adanya pelanggaran asas transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan belanja perjalanan dinas.
Tak hanya itu Ramadhan juga menjelaskan, sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Permendagri tentang standar biaya perjalanan dinas, ditemukan adanya indikasi bahwa beberapa SKPD menggunakan biaya melebihi standar tanpa dasar hukum yang jelas.
Penggunaan dana di luar ketentuan dianggap melanggar prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan keuangan negara.
“Kalau benar ada laporan fiktif dan mark-up, maka ini bukan hanya pelanggaran prosedural, tapi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999,” ungkap Ramadhan.
Namun ia berharap transparansi dan tanggung jawab moral dari para pimpinan daerah untuk membuka data anggaran perjalanan dinas secara publik.
Sementara itu, Ramadhan menyebutkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan APBD di daerah-daerah terpencil masih sangat lemah, membuka ruang praktik manipulasi dan korupsi struktural.
“Tanpa kontrol masyarakat dan penegakan hukum yang tegas, praktik ini akan terus berulang,” tutup Ramadhan.
(Jain)