Salahuddin Lessy
(Pemerhati Pertambangan dan Lingkungan)
Isu pertambangan ilegal kembali menjadi sorotan nasional setelah Presiden Prabowo Subianto, dalam pidato kenegaraannya pada 15 Agustus 2025, menyinggung temuan mengejutkan. Terdapat 1.603 tambang ilegal dengan potensi kerugian negara mencapai Rp300 triliun. Data ini bukan sekadar angka, melainkan gambaran nyata bagaimana aktivitas tanpa izin merusak ekosistem, merampas hak negara atas sumber daya, dan menggerogoti keadilan sosial bagi masyarakat.
Bagi Maluku Utara, daerah yang kerap menjadi episentrum praktik tambang liar, persoalan ini bukan sekadar statistik. Ia menyangkut kelangsungan lingkungan hidup, legitimasi hukum, dan masa depan ekonomi lokal. Karena itu, masyarakat, pemerintah daerah, dan seluruh pemangku kepentingan wajib bersatu dalam mendukung investigasi mendalam dan penegakan hukum yang adil.
Namun mengapa persoalan ini sulit disentuh? Jawabannya sederhana. Praktik pertambangan ilegal berlangsung tertutup, terstruktur, dan sering kali dilindungi jaringan kuat. Investigasi biasa tidak cukup; dibutuhkan metode mendalam yang memadukan pendekatan jurnalistik, teknologi, dan data keuangan global.
Salah satu indikator kunci adalah lokasi penambangan. Modus yang lazim ditemui ialah eksploitasi di luar wilayah konsesi resmi. Ini kerap dilakukan secara diam-diam dengan memanfaatkan area terpencil, lalu mengekstraksi dalam volume besar di waktu-waktu tertentu sering kali dini hari, antara pukul 01.00 hingga 04.00.
Selain itu, penyamaran dokumen menjadi pola klasik. Nikel ilegal kerap dikemas dengan kode barang lain seperti pasir besi, sehingga lolos dalam dokumen ekspor. Kapal berbendera asing misalnya berbendera Panama sering digunakan, dengan jalur transit melewati Filipina atau negara lain. Jaringan logistik ini biasanya melibatkan perusahaan jasa lintas negara, memperumit jejak yang harus ditelusuri.
Di titik berikutnya, rantai distribusi global memberi petunjuk penting. Pelabuhan tujuan di Tiongkok seperti Qingdao atau Xiamen sering muncul dalam dugaan alur ekspor ilegal. Perusahaan besar, dari Hongye Mining hingga SinoMineral Group, diduga menjadi pembeli potensial. Alur keuangan pun tidak kalah kompleks. Transaksi melalui transfer kawat via Bank of China, diteruskan ke perusahaan cangkang di Hong Kong atau Singapura, lalu berakhir di entitas lokal di Indonesia. Bahkan, jalur alternatif seperti cryptocurrency dan emas batangan diduga ikut dipakai.
Teknologi modern dapat menjadi senjata investigasi. Data AIS (Automatic Identification System) memungkinkan pelacakan real-time kapal internasional, sementara analisis harga nikel di Bursa Komoditas Shanghai membuka peluang mendeteksi anomali harga misalnya praktik under-invoicing yang merugikan negara. Kombinasi data ini bisa menjadi bukti konkret dalam penindakan hukum.
Namun, penting diingat, investigasi harus berbasis bukti yang sahih. Menyudutkan perusahaan hanya berdasar rumor bukanlah solusi. Selain merusak reputasi, hal itu dapat menghantam ribuan pekerja yang bergantung pada sektor ini. Karena itu, pendekatan yang adil dan berbasis fakta menjadi keharusan.
Di momen peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia, seruan konstitusi kembali relevan: sumber daya alam harus dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maluku Utara, dengan segala kekayaan Moloku Kie Raha, berhak meraih masa depan yang adil, lestari, dan sejahtera. Dan langkah pertama menuju itu adalah investigasi mendalam yang berani, transparan, dan berpihak pada kebenaran. (****)