Berita  

Bom Ikan Ancam Laut Maluku Utara, HNSI Desak Gubernur Bertindak, “Jangan tunggu laut habis baru bertindak”.

TERNATE – HabarIndonesia. Aksi pengemboman ikan di sejumlah perairan Maluku Utara kembali mencuat dan menjadi ancaman nyata terhadap kelestarian lingkungan laut.

Perairan Kayoa, Taliabu, Obi, Pulau Widi, hingga Loloda disebut sebagai zona merah yang terus-menerus dirusak oleh praktik penangkapan ikan secara ilegal dan brutal, minggu 15/06/25.

Ketua DPD HNSI Maluku Utara, Hamka Karepesina, S.Pi., M.Si., dengan tegas menyebut bahwa praktik biadab ini telah menimbulkan kerusakan ekosistem yang tak bisa ditoleransi lagi.

“Bukan cuma populasi ikan yang musnah, terumbu karang hancur, dasar laut porak-poranda, dan rantai ekologi laut kita lumpuh, Ini mengancam hidup ribuan nelayan yang menggantungkan hidup dari laut,” kecam Hamka dalam pernyataannya.

DPD HNSI Maluku Utara mendesak Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi agar berhenti menutup mata dan mulai memperkuat sistem pengawasan secara serius di wilayah perairan rawan.

Mereka meminta DKP tidak sekadar menyusun program di atas kertas, tapi juga hadir nyata di lapangan.

Hamka juga menyentil peran Pemerintah Provinsi, khususnya Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara, yang dianggap belum menunjukkan keseriusan dalam mengatasi persoalan ini.

“Kalau benar sektor kelautan jadi prioritas, mana buktinya? Sudah 100 hari kerja, kami tidak melihat komitmen nyata. Mana anggaran untuk operasional pengawasan laut?” tegasnya.

Lebih lanjut, HNSI mendesak integrasi total antara DKP, Polairud, Lanal, hingga DKP kabupaten/kota agar sistem pengawasan tidak berjalan sendiri-sendiri.

Menurut Hamka, kolaborasi dengan Babinsa, Babinkamtibmas, dan aparatur desa sangat penting mengingat pelaku bom ikan mayoritas berasal dari masyarakat lokal.

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebenarnya sudah cukup kuat sebagai payung hukum. Namun, kata Hamka, yang menjadi persoalan adalah lemahnya implementasi dan minimnya sumber daya.

“DKP Maluku Utara kekurangan personel, peralatan, dan anggaran. Laut kita luas, tapi pengawasnya minim. Ini ironi,” serunya dengan nada keras.

Salah satu solusi yang disodorkan HNSI adalah memperkuat dan memfungsikan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas). Hamka mendorong agar DKP memberikan dukungan anggaran khusus untuk operasional Pokmaswas di titik-titik rawan pengemboman.

“Jangan cuma libatkan masyarakat saat ada proyek, tapi beri mereka peran dan fasilitas untuk menjaga lautnya sendiri,” tukasnya.

Lebih dari sekadar menangkap pelaku dan memutus akses bahan bom, Hamka menekankan bahwa strategi pengawasan harus menjangkau akar persoalan pasar gelap.

“Selama masih ada penadah ikan hasil bom, maka kejahatan ini akan terus hidup. Putus rantai pasarnya, Jangan biarkan pelaku punya tempat menjual hasil kejahatannya,” katanya.

Terakhir, HNSI menyerukan adanya perubahan besar dalam pola pikir seluruh stakeholder pengawasan.

“Ini bukan soal hukum semata, tapi tentang masa depan laut kita. Kalau tidak sekarang kita bergerak bersama, besok kita hanya mewarisi laut yang mati,” tutup Hamka dengan suara lantang.

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *