Berita  

18 IUP Nikel Non-CnC Tanpa Lelang di Maluku Utara Diduga Ilegal

TERNATE – HabarIndonesia.id. Di balik gemerlap ambisi Indonesia menjadi pusat rantai pasok baterai kendaraan listrik dunia, terungkap satu kenyataan pahit. 18 izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Provinsi Maluku Utara diduga terbit secara ilegal. Izin-izin ini tidak masuk kategori Clean and Clear (CnC), bahkan tidak melewati mekanisme lelang wilayah pertambangan sebagaimana diwajibkan undang-undang.

Temuan ini menciptakan gemuruh baru di provinsi kepulauan yang selama satu dekade terakhir menjadi episentrum eksploitasi nikel. Maluku Utara yang dahulu dikenal dengan laut biru dan hamparan pulau hijau, kini berubah menjadi panggung tarik-menarik kepentingan: negara, korporasi, dan masyarakat adat yang tanahnya tergerus buldoser.

Cacat Formil dan Materiil; Legalitas yang Runtuh

Sumber internal di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengonfirmasi bahwa 18 IUP tersebut tidak memiliki status Clean and Clear.

Artinya, perusahaan pemegang izin gagal memenuhi syarat administrasi, lingkungan, hingga kewajiban finansial negara. Lebih jauh, tidak ada catatan lelang WIUP sebagaimana diamanatkan Pasal 35 UU Minerba jo. UU No. 3/2020.

“Secara hukum, izin-izin ini cacat sejak lahir, maka itu sudah termasuk pelanggaran dan masuk kategori tambang ilegal atau illegal mining,” ujar Dr. Hendra Karianga, Dosen Fakultas Hukum Unkhair Ternate.

Ia jugamengatakan, penerbitan tanpa lelang melanggar prinsip transparansi. Non-CnC berarti potensi kerugian negara dan risiko kerusakan lingkungan yang tidak terkelola.

Benturan di Lapangan; Masyarakat vs Korporasi

Di Halmahera Tengah, sebuah pulau kecil yang disebut pulau Gebe berada di ambang kehancuran. pulau yang dikenal sebagai wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi, termasuk terumbu karang, hutan tropis, dan satwa endemik seperti kuskus, telah dibabat habis oleh tambang-tambang ilegal.

Padahal, pulau ini termasuk dalam lingkup perlindungan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 karena merupakan pulau kecil dengan luas di bawah 2.000 km². Namun kenyataanya pulau kecil itu masih bisa diekploitasi para mafia tambang.

Pemberian izin dan aktivitas itu menyalahi UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K).  Segala kerusakan atas aktivitas tambang pun harus dipulihkan, baik di darat maupun perairan.

Apalagi ini telah dikuatkan dengan putusan MK No 35/PUU-XXI/2023 yang diketok oleh sembilan hakim konstitusi pada 21 Maret 2024 lalu. Hakim konstitusi menolak uji materi Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 35 huruf K UU No 27 Tahun 2007 Tentang PWP3K.

Begitu pula di Kabupaten Halmahera Timur, desa-desa pesisir melaporkan air sungai berubah keruh, sawah kehilangan produktivitas, dan nelayan harus melaut lebih jauh karena tangkapan ikan menurun. Samsul, seorang warga desa bicara dengan suara lirih.

“Kami tidak tahu kapan perusahaan datang, tiba-tiba alat berat sudah bekerja. Tidak ada sosialisasi, tidak ada kompensasi,” ungkapnya, (2/9/2025).

Organisasi masyarakat sipil lokal dan NGO nasional kini menyiapkan gugatan PTUN. Mereka menuding pemerintah daerah dan pusat lalai, bahkan terlibat dalam praktik “jual beli izin”.

Dimensi Ekonomi; Hilangnya Triliunan Rupiah

Bagi negara, izin ilegal berarti hilangnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta jaminan reklamasi. Analisis sederhana menyebut potensi kerugian mencapai triliunan rupiah per tahun. Perusahaan yang beroperasi tanpa CnC berpeluang mengekspor ore nikel murah tanpa pengawasan ketat.

Ironisnya, kerugian negara berjalan beriringan dengan keuntungan instan segelintir korporasi. Pasar global, yang haus bahan baku baterai, justru memperbesar permintaan, mendorong perusahaan beroperasi tanpa takut konsekuensi hukum.

Menurut Hendra Karianga, yang juga Pakar Hukum Keuangan Negara, tambang non-CnC sangat merugikan negara karena tidak terkontrol, menyebabkan hilangnya PNBP, serta memicu kerusakan lingkungan tanpa adanya kewajiban reklamasi yang diselesaikan.

Selain kerugian finansial dan lingkungan, praktik ini juga membuka celah bagi perusahaan untuk tidak melaporkan produksinya dan menghindari kewajiban legal mereka.

“Mereka tidak punya jaminan reklamasi, tidak ada audit lingkungan, dan itu sangat berbahaya,” katanya.

Lingkungan; Luka yang Tak Mudah Pulih

Citra satelit menunjukkan kerusakan hutan bakau di beberapa kabupaten di Maluku Utara. Runoff tambang mengalir ke laut, menutup terumbu karang dengan lumpur merah.

“Kerusakan pesisir bisa permanen jika reklamasi tidak dilakukan. Padahal izin mereka bahkan tidak punya AMDAL sah,” ungkap Salahuddin Lessy, Pemerhati Pertambangan dan Lingkungan.

Jika tren ini berlanjut, Maluku Utara bisa menghadapi krisis ekologis ganda: hancurnya ekosistem laut dan degradasi daratan.

Tekanan Global; ESG dan Pasar Internasional

Isu 18 IUP ilegal bukan hanya urusan domestik. Uni Eropa melalui kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) serta Amerika Serikat melalui Inflation Reduction Act menuntut nikel yang masuk rantai pasok global memenuhi standar ESG (Environmental, Social, Governance).

“Bahan baku dari izin ilegal bisa ditolak di pelabuhan Eropa,” kata seorang ekonom energi yang tak mau disebutkan namanya.

Lanjutnya, ika Indonesia tidak segera bersih-bersih, reputasi kita sebagai pemasok utama nikel dunia bisa runtuh.

Skenario 2025; Jalan Persimpangan

Hingga 2025, Maluku Utara berada di persimpangan. Jika pemerintah pusat konsisten dengan program Minerba One Map dan Minerba Online Monitoring, pencabutan 18 IUP ilegal ini menjadi keniscayaan. Namun jika tidak, praktik abu-abu ini akan berlanjut, mengundang gugatan NGO, konflik sosial, hingga ancaman arbitrase internasional dari investor asing.

18 Izin Tambang Non-CnC Tanpa Lelang Tersebar di Maluku Utara

  1. PT Smart Marsindo
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 666,30 hektare di pulau Gebe, Halmahera Tengah. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah Yasin Ali pada 2012, dan berlaku hingga 2038. Tepat pada pertengahan 2022, perusahaan ini mulai melakukan eksplorasi;
  2. PT Aneka Niaga Prima
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 459,66 hektare di pulau Fau, Gebe Halmahera Tengah. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah Yasin Ali pada 2012, dan berlaku hingga 2032;
  3. PT Anugerah Sukses Mining
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 503 hektar di pulau Gebe, Halmahera Tengah. Izin Usaha Pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah Yasin Ali pada 2013, dan berlaku hingga 2033;
  4. PT Karya Wijaya
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 500 hektar di pulau Gebe, Halmahera Tengah. Izin usaha pertambangan diterbitkan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba pada 2020, dan berlaku hingga 2040;
  5. PT Antasena Technindo
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 503 hektar di pulau Gebe, Halmahera Tengah. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah Yasin Ali pada 2011, dan berlaku hingga 2031;
  6. PT Bartra Putra Mulia
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 1.850 hektar di Halmahera Tengah.
    Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah Yasin Ali pada 2013, dan berlaku hingga 2032;
  7. PT Lopolly Mining cdx
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 47,40 hektar. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah Yasin Ali pada 2013, dan berlaku hingga 2033;
  8. PT Cetara Bangun Persada
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 10.460.00 di Kabupaten Halmahera Tengah. Izin usaha pertambangan diterbitkan Menteri ESDM pada 2024, dan berlaku hingga 2030;
  9. PT Putra Prima Sejahtera
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 1.100.00 di Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah pada 2014, dan berlaku hingga 2034;
  10. PT Dharma Rosadi Internasional
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 540.00 hektar di Desa Fritu, Weda Utara, Halmahera Tengah. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Tengah pada 2009, dan berlaku hingga 2029;
  11. PT Arumba Jaya Perkasa
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 1.18.47 hektar di Desa Telaga Jaya, Loleba, Saramaake, Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Timur pada 2010, dan berlaku hingga 2030;
  12. PT Cakrawala Agro Besar
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 1.272,79 hektar di Desa Lolobata, Wasile Tengah Halmahera Timur. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Timur pada 2010, dan berlaku hingga 2030;
  13. PT Cakrawala Agro Besar
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 8.198,29 di Desa Wayamli, Maba Tengah, Halmahera Timur. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati pada 2010, dan berlaku hingga 2030;
  14. PT Nusa Karya Arindo
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 20.763,00 di Maba, Halmahera Timur. Izin tambang diterbitkan Menteri ESDM pada 2022, dan berlaku hingga 2030;
  15. PT Forward Matrix Indonesia 2
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 30 hektar di Desa Subaim, Halmahera Timur. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Timur pada 2010, dan berlaku hingga 2030;
  16. PT Sumberdaya Arindo,Perusahaan ini menguasai lahan seluas 14.421,00 di Kabupaten Halmahera Timur. Izin usaha pertambangan diterbitkan pada 2024, dan berlaku hingga 2045;
  17. PT Pahala Milik Abadi
    Perusahaan ini menguasai lahan seluas 4.583,00 di Kabupaten Halmahera Timur. Izin usaha pertambangan diterbitkan Bupati Halmahera Timur pada 2025, dan berlaku hingga 2030;

PT Mulia Putera Sejahtera
Perusahaan ini menguasai lahan seluas 2.967.75 di Kabupaten Halmahera Selatan. Izin usaha pertambangan diterbitkan pada 2011, dan berlaku hingga 2031;

Kesimpulan; Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Bersih

Kisah 18 IUP ilegal di Maluku Utara bukan sekadar soal izin administratif, melainkan refleksi krisis tata kelola pertambangan Indonesia. Negara berdiri di tengah badai kepentingan global, tekanan pasar, dan tuntutan masyarakat lokal.

Pertanyaan mendasarnya. Apakah pemerintah berani mencabut izin yang cacat hukum demi menjaga integritas hukum nasional dan masa depan lingkungan? Atau justru memilih jalan kompromi, membiarkan luka Maluku Utara semakin dalam?
Bagi masyarakat setempat, jawabannya sudah jelas. “Kami hanya ingin laut dan tanah kami tetap hidup. Lebih dari semua keuntungan nikel, itu yang terpenting bagi kami.”

(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *