Di tulis Oleh: Abdul Muarif Korois, S.H
(Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Indonesia)
Latar belakang seorang hakim tidak terlepas dari konstruksi sosial, ideologi, dan budaya yang membentuk perilaku dan cara pandang terhadap hukum, ini sepadan dengan pendapat Gadamer dalam bukunya “Kebenaran dan Metode” yang menegaskan bahwa penafsiran tidak pernah murni objektif, melainkan selalu dipengaruhi oleh “horizon pengalaman” penafsir. Secara formal, Pasal 24 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim wajib bersikap independen dan imparsial, serta memutus berdasarkan kanal hukum dan keyakinan pada fakta persidangan.
Namun, dalam praktiknya, hakim bukanlah mesin mekanistik undang-undang yang steril dari pengaruh eksternal. Hakim adalah manusia yang memiliki pengalaman hidup, latar belakang keluarga, pendidikan, dan nilai-nilai sosial yang terinternalisasi sejak dini. Faktor-faktor inilah yang dapat memengaruhi orientasi putusan hakim, apakah cenderung konservatif atau responsif.
Dalam tradisi mazhab hukum positivisme, Hans Kelsen melalui karyanya “Teori Hukum Murni” mengajarkan bahwa hukum harus ditempatkan sebagai sistem normatif yang otonom. Hakim dalam paradigma ini menunjukkan pola pikir yang sangat positivistik yaitu hanya menjadi pelaksana norma, tanpa boleh mencampurkan paradigma moral, politik, atau nilai-nilai pribadi. Putusan yang lahir biasanya bersifat konservatif, yakni berpegang teguh pada teks undang-undang, mengutamakan kepastian hukum, dan menjaga stabilitas sistem. Namun, pandangan ini menuai kritik karena sering kali mengabaikan keadilan substantif, terutama dalam kasus-kasus yang menyangkut kelompok rentan.
Sebaliknya, Roscoe Pound dengan sociological jurisprudence-nya menegaskan bahwa hukum harus dipahami sebagai sarana social engineering (rekayasa sosial). Hukum bukan sekadar sistem normatif yang tertutup, melainkan instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju keadilan. Perspektif Pound membuka ruang bagi hakim untuk lebih peka terhadap dinamika sosial dan kebutuhan konkret masyarakat.
Gagasan ini kemudian diperkuat oleh Philip Nonet dan Philip Selznick dalam buku klasiknya “Law and Society in Transition: Toward Responsive Law” yang membedakan antara hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif. Dalam medan hukum responsif, hakim tidak hanya menerapkan teks undang-undang, tetapi juga menafsirkan hukum secara progresif agar selaras dengan kepentingan sosial dan perlindungan hak-hak dasar. Paradigma ini sejalan dengan gagasan hukum progresif Satjipto Rahardjo yang menolak pandangan formalistik kaku. Satjipto menekankan bahwa hukum ada untuk manusia, sehingga hakim berhak bahkan wajib menafsirkan hukum secara kreatif demi menghadirkan keadilan substantif.
Melalui domain realisme hukum, Jerome Frank menyuguhkan penjelasan yang lebih konkret. Menurutnya, menurutnya, putusan hakim tidak bisa dipersempit hanya sebagai praktik implementasi logis dari aturan yang berlaku. Faktor-faktor pribadi seperti latar belakang keluarga, pengalaman hidup, bahkan kondisi psikologis, memengaruhi cara hakim menilai bukti, menafsirkan norma, dan pada akhirnya menjatuhkan putusan.
Dengan demikian, seorang hakim yang sejak kecil hidup dalam keluarga aktivis buruh,petani, atau nelayan kemungkinan besar akan lebih peka terhadap persoalan keadilan sosial dan ketidakadilan struktural. Dalam perkara perburuhan, contohnya, ia akan lebih memahami posisi kelas pekerja yang lemah dibandingkan kelas pengusaha yang kuat, sehingga putusannya bercorak responsif dan melindungi hak-hak kelas pekerja. Begitupun sebaliknya, hakim yang berasal dari keluarga pejabat atau pengusaha kemungkinan besar memilih keputusan yang lebih menitikberatkan pada kepastian hukum, penghormatan terhadap kontrak, dan stabilitas usaha, sehingga putusannya lebih konservatif.
Hasil riset terbaru juga mendukung bahwa putusan hakim tidak sepenuhnya netral. Misalnya, penelitian Doron Teichman, Eyal Zamir, dan Ilana Ritov (2023) dalam artikel “Biases in Legal Decision-Making” membuktikan bahwa bahkan aktor hukum profesional sekalipun, termasuk jaksa dan pengacara, tetap terpengaruh oleh bias kognitif seperti outcome bias dan anchoring. Artinya, kemampuan hukum formal tidak sepenuhnya mampu menghapus pengaruh subjektivitas dan latar belakang pribadi.
Sefrekuensi dengan itu, Joshua Boston dan Bernardo S. Silveira (2024) dalam artikelnya “The Electoral Connection in Court” menunjukkan bahwa dalam konteks Amerika Serikat, pilihan politik pemilih di distrik tertentu terbukti memengaruhi keras atau lunaknya vonis hakim yang dipilih melalui pemilihan lokal. Hakim yang tidak “responsif” terhadap pilihan pemilih akan berisiko kalah dalam pemilihan berikutnya. Hal ini memperlihatkan bahwa putusan hakim sering kali hadir dari hubungan rumit antara hukum, struktur sosial, dan tekanan politik.
Dari perspektif sosiologi hukum, faktor horizon hakim dapat dipahami sebagai elemen sosial psikologis yang membentuk perilaku yudisial (judicial behavior). Dalam sistem peradilan modern, memang ada keharusan agar hakim selalu netral dan obyektif, namun obyektivitas yang mutlak hanyalah sebuah idealitas yang sulit dicapai sepenuhnya. Realitasnya, putusan hakim adalah hasil pertautan antara teks hukum, fakta persidangan, dan pengalaman hidup hakim itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam situasi Indonesia. Eksistensi hakim dengan latar belakang sosial yang beragam dapat dipandang sebagai kekayaan sekaligus tantangan. Di satu sisi, hakim yang berwatak responsif dibutuhkan untuk melindungi kelas bawah yang rentan terhadap eksploitasi, mengisi kekosongan hukum, dan menyesuaikan norma dengan perkembangan masyarakat. Di sisi lain, hakim yang berwatak konservatif tetap diperlukan untuk menjaga rel kepastian hukum, konsistensi, dan stabilitas sistem hukum.
Tantangan besarnya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara kepastian hukum (sebagaimana ditekankan oleh Kelsen) dengan keadilan substantif (sebagaimana digagas oleh Pound, Nonet & Selznick, serta Satjipto Rahardjo), serta bagaimana menjaga agar hakim tetap berada dalam titik koridor independensi dan integritas, sehinggah pengaruh latar belakang tidak menjelma menjadi bias atau keberpihakan yang merugikan salah satu pihak, tetapi justru memperkaya khazanah penafsiran hukum dalam mewujudkan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. (**)