(Rahmat A Abdina)
Indigenous Science atau yang lebih dikenal dengan ilmu pengetahuan lokal/pribumi adalah pengetahuan masyarakat yang masih erat kaitannya dengan budaya lisan dan bersifat kontekstual, sederhana dan lebih memiliki kedekatan dengan kehidupan manusia sehari-hari (Gloria Snively, 2001).
Produk utama dari Indigenous Science adalah ragam tradisi dan mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos sendiri kerap kali dikesampingkan oleh masyarakat urban yang terkenal modern dan menjadikan logika atau logos sebagai fondasi utama menentukan kebenaran suatu kejadian atau ilmu pengetahuan.
Mitos dan logika (logos) adalah dua sisi yang punya keterkaitan. Penyangkalan terhadap mitos akan membuat ruang imajiner ataupun rasa dalam diri seseorang menjadi hampa. Tak heran jika masyarakat urban menjadi sangat abai pada persoalan-persoalan tradisi dan budaya lokal.
Pengecualian terhadap mitos akan membuat setiap orang menjadi kurang atau bahkan tidak perasa. Imbasnya, isu-isu ekologi menjadi dikesampingkan untuk mengejar pundi-pundi keuntungan yang lebih konkret berupa uang dan semisalnya. Hal ini karena pandangan logos adalah sesuatu yang berwujud, sedangkan mitos ialah hal yang dengan ruang-ruang imaji.
Masyarakat urban dan masyarakat tradisional/lokal di era sekarang banyak diperhadapkan dengan pergolakan ekologi dan isu-isu lingkungan. Masyarakat lokal punya hubungan yang lebih erat dengan sumber daya alam sekitar mengingat segala aspek kehidupannya bersumber dari sana.
Keberlangsungan hidup tumbuhan dan hasil alam lebih dihargai karena masyarakat lokal menganggap alam dan sekitarnya adalah elemen yang hidup sepertihalnya manusia. Sedangkan masyarakat urban berpandangan sebaliknya. Alam hanyalah benda mati dan satu-satunya yang hidup adalah manusia.
Harus disadari bahwa manusia dengan kesempurnaannya juga memiliki batasan-batasan tertentu. Hal-hal bernuansa magis dan abstrak juga punya ruang yang cukup luas di masyarakat Indonesia lebih-lebih masyarakat Halmahera.
Kesadaran untuk mempertahankan hutan dan alam sekitar di banyak tempat dan keadaan adalah peran masyarakat lokal/tradisional sebagai sumbur mitos berkembang. Halmahera dan masyarakatnya adalah salah satu dari sekian banyak pencipta mitos di Indonesia. Tak heran, hutan dan kekayaan alamnya masih bisa dipertahankan dengan balutan tradisi dan budaya lokalnya.
Kemampuan suatu daerah sepertihalnya Halmahera untuk mempertahankan kondisi alamnya tetap terjaga tak terlepas dari peranan masyarakat lokal dalam hal ini masyarakat adat sebagai pewaris tunggal tanah ulayat. Kepercayaan pada mitos turun-temurun menjadi benteng utama dalam menjaga tatanan hidup di hutan Halmahera. Mitos sendiri tercipta dari pengamatan secara terus-menerus pada fenomena yang terjadi di sekitar. Maka, jika produk-produk indigenous science ini sudah sepatutnya memiliki ruang tertentu pada khazanah ilmu pengetahuan modern ini.
Kehadiran pertambangan di Indonesia, terkhusus di kawan timur sering kali menuai kontoversi. Hal ini karena masyarakat lokal masih punya ikatan kuat dengan tradisi dan mitosnya. Ritual-ritual adat menjadi momen sakral ketika hendak mengambil sesuatu dari alam sebagai bentuk penghormatan masyarakat adat.
Hal berbeda yang dilakukan oleh para pelaku pertambangan, meskipun sudah melalui proses tinjauan akademik hingga terbitnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), kehadiran tambang nyatanya menjadi momok menakutkan bagi kelasungan ekologi suatu wilayah dan tentunya mitos dan tradisi-tradisi masyarakat lokal.
Halmahera sendiri merupakan salah satu pulau yang memiliki banyak sekali IUP (Izin Usaha Pertambangan). Kehadiran tambang di Halmahera sudah cukup untuk mengikis perlahan tradisi dan mitos yang berkembang di masyarakat. Hal inilah yang menjadi polemik di awal pekan kemarin.
Ibarat kata “Dunia sudah kebalik”. Begitu kalimat yang pantas untuk menggambarkan fenomena di hari Senin tanggal 3 Februari kemarin. Di Halmahera Utara, ratusan mahasiswa dihadang oleh masyarakat adat setempat ketika hendak berdemonstrasi di front gate PT. Nusa Halmahera Minerals (PT. NHM).
PT Nusa Halmahera Minerals (NHM) sendiri adalah perusahaan pertambangan yang bergerak di penambangan emas berdasarkan Kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia yang ditandatangani tanggal 28 April 1997. PT. NHM saat ini berdasarkan Kontrak Karya tersebut juga memiliki wilayah kerja seluas 29.622 hektare di Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara (NHM.co.id).
Benturan antara mahasiswa dan masyarakat adat tersebut bisa dibilang menjadi perbenturan dua elemen logos dan mitos. Akan tetapi, dalih perbenturan tersebut membuat narasi yang coba dibangun diatas menjadi sia-sia belaka. Masyarakat adat sebagai produsen utama mitos yang kerap kali membela persoalan-persoalan ekologi justru menaruh dukungan kepada pihak pengelola tambang.
Lantas, jika kondisi ini berkembang dan berkelanjutan maka bisa dipastikan mitos dan tradisi-tradisi lokal yang ramah ekologi akan musnah digerus buldozer dan excavator yang terus eksis di bumi Halmahera. Sebagai orang Halmahera, kita perlu banyak berharap agar kekayaan adat, budaya hingga mitos-mitos di Halmahera bisa tetap hidup sebagai penyeimbang antara rasa (mitos) dan buah pikiran (logos).
Meskipun begitu, biarlah pergolakan ini menjadi tontonan banyak pasang mata. Entah tontonan itu mengundang simpati atau malah memancing banyak gelak tawa.
Sekian…