Rian Hidaya
Peneliti Data Desa Presisi
Ilmu sosiologi adalah ilmu yang sangat praksis di lapangan. Menurut Sofyan Sjaf, sosiologi memiliki peran vital sebagai penghubung lintas disiplin ilmu. Profesor Sajogyo, tokoh besar di bidang sosiologi, menekankan pentingnya kolaborasi. “jika Anda ingin mengubah masyarakat, jangan berjuang sendiri”, ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa sosiologi harus menjalin kerja sama dengan bidang ilmu seperti ekonomi, teknik, Big Data, teknologi hingga pertanian dan perikanan. Dalam Konteks era digitalisasi yang terus berkembang, justru tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam mempersempit ketimpangan sosial ekonomi, khususnya di desa. Desa menjadi unit terkecil dalam masyarakat, harus menjadi cerminan dari kondisi makro yang ada di Indonesia.
Desa Sebagai Cerminan Makro
Undang-undang yang berfokus pada pembangunan manusia idealnya di ukur dari level terkecil yaitu desa. Namun, faktanya sering kali menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara data dan realitas di lapangan.
Ketidakpercayaan terhadap data perintah salah satunya disebabkan oleh penggunaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai tolak ukur yang dinilai tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi desa. Meski IPM di atas 70 dianggap baik, banyak desa yang berada di rentan 40-60, jauh dari standar tersebut.
Menurut Profesor Sofyan Sjaf, “ Bacalah Desa dengan baik, maka fenomena makro akan terbaca dengan jelas.” Data Desa Presisi memperkuat hal ini dengan menemukan bahwa partisipasi pendidikan dasar dan menengah di banyak desa masih memiliki kesenjangan signifikan. Hingga 40 % anak usia sekolah dasar dan menengah tidak melanjutkan pendidikan.
Ketimpangan ekonomi juga menjadi isu utama yang berimbas pada ketimpangan sosial. Gini Rasio di sejumlah provinsi menunjukkan angka di atas 0,4, yang mengindikasikan ketimpangan sedang. Uniknya, ketimpangan ini tidak hanya terjadi antara wilayah, tetapi juga di dalam satu desa itu sendiri.
Mulai dari Rumah Tangga Desa
Mengatasi ketimpangan harus dari unit terkecil, yaitu rumah tangga. Menurut Sofyan Sjaf, pemenuhan hak dasar seperti sandang, pangan dan pendidikan menjadi kunci. Sebagai contoh, program makanan bergizi gratis akan lebih efektif jika distribusinya dilakukan langsung ke rumah tangga, bukan melalui mekanisme terpusat.
Dengan alokasi makanan bergizi senilai Rp 10.000 per bulan kepada orang tua siswa, program ini dapat disertai dengan edukasi tentang pola konsumsi sehat. Selain meningkatkan kualitas gizi generasi muda, program ini juga mampu mendorong perekonomian desa.
Syarat utama adalah pengeluaran untuk menu makanan bergizi harus dilakukan di desa. Hal ini akan mendorong desa untuk memproduksi komoditi yang dibutuhkan, menciptakan ekonomi lokal berkelanjutan.
Desa Sebagai Kunci Mengatasi Ketimpangan Nasional
Data Desa Presisi mencatat bahwa perputaran uang di desa-desa Pulau Jawa untuk konsumsi pangan mencapai Rp 4 – 7 miliar per bulan. Ini menunjukkan potensi besar dalam menopang ekonomi lokal maupun nasional. Namun, potensi hanya dapat dioptimalkan jika ada kehendak politik yang kuat.
Seperti yang disampaikan oleh Sofyan Sjaf, “ Berbicara tentang ketimpangan adalah berbicara tentang kehendak politik.” Tanpa kebijakan yang berpihak pada desa dan masyarakat, ketimpangan akan sulit diatasi.
Membangun desa yang adil dan merat harus dimulai dari desa. Menjadikan desa sebagai pusat perhatian bukan hanya langkah strategis, tetapi juga moral. Ketimpangan sosial dan ekonomi tidak akan terselesaikan tanpa pemberdayaan desa yang berkelanjutan. Dari Desa, Indonesia dapat menemukan jalan menuju keadilan sosial yang sesungguhnya.